Opini
Oleh Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC) pada hari Sabtu, 08 Apr 2017 - 20:31:48 WIB
Bagikan Berita ini :

Syafii Maarif : Waspadai "Teologi Maut", Maksud Buya “Awas Sakaratul Maut”

35IMG_20170201_194417.jpg
Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC) (Sumber foto : Istimewa )

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, mengatakan di depan seminar di hotel Aryaduta Jakarta, 8 April 2017, yang bertajuk “Indonesia di Persimpangan: antara Negara Pancasila vs Negara Agama”, agar aparat pemerintah berhati-hati terhadap “Teologi Maut”.

Setelah membaca laporan media tentang keynote speech Buya Syafii itu, ternyata tidak ada satu pun wartawan yang bisa memahami maksud tokoh liberal ini. Semua wartawan yang membuat berita itu hanya mampu menangkap pesan Buya secara literal saja. Padahal, jauh di belakang itu, ada pemahaman spiritual-kontekstual yang ingin disampaikan oleh Buya.

Sayang sekali para wartawan dari semua media, termasuk yang beken-bekan sekelas Kompas, Tempo, Liputan6, Tribun News, Republika, detik.com, kumparan.com, teropongsenayan.com, dll, hanya menulis pesan tekstual Buya saja. Yaitu, supaya pemerintah dan masyarakat pada umumnya selalu waspada terhadap gerakan kelompok-kelompok Islam yang mempromosikan Teologi Maut dalam arti ekstremisme, radkalisme, dan intoleransianisme.

Para wartawan seratus persen terjebak dalam pengertian “sempit” itu. Padahal, dalam penjelasan di luar seminar kepada para wartawan yang berasal dari berbagai media alam gaib termasuk Harian Kuburan, Tribun Akhirat, Majalah Alam Barzakh, Kompas Kematian, malaikalmaut.com, detikdetikakhir.com, lianglahat.com, dsb, Buya mengatakan bahwa yang beliau maksudkan adalah agar para pejabat pemerintah, yaitu Presiden, Wapres, para menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, Kepala BNPT, Densus 88, para pemimpin parpol, dll, haruslah senantiasa waspada terhadap “Sakaratul Maut”.

Jangan salah. Dengan menyebut “teologi maut”, Buya bukan membicarakan soal paham radikal atau paham ekstrem. Beliau menggunakan terminolgi “Teologi Maut” karena sesungguhnya “kematian manusia ini adalah bagian dari teologi”.

Seharusnya para wartawan yang meliput seminar itu bisa memahami bahwa pada usianya yang sekarang ini, Buya memang wajar banyak berbicara soal “teologi maut” dalam makna “sakaratul maut”. Ini yang tidak dipahami oleh para wartawan yang meliput seminar itu.

Jadi, kalau nanti ada seminar ulangan atau lanjutan yang menampilkan Buya Syafii dengan topik “teologi maut”, hendaklah istilah itu didudukkan dalam penafsiran kontemporer yang diistilahkan sebagai “kematianisme seramistis” (kematian itu sangat menyeramkan).

Untuk membaca langsung “kesalahpahaman” wartawan yang meliput keynot speech Buya itu, silakan saja gugel kata kunci “teologi maut syafii maarif”.(*)


(Artikel ini adalah opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC).

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
IDUL FITRI 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
IDUL FITRI 2025 WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2025 HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2025 HERMAN KHAERON
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Presiden Trump Janganlah Jadi Kiai Jarkoni

Oleh Fuad Bawazier Menteri Keuangan Era Orde Baru
pada hari Kamis, 24 Apr 2025
Amerika Serikat adalah negeri tempat kita banyak belajar. Para politisi, ekonom dan banyak disiplin ilmu kita belajar di sana. Para dosen dan birokrat kita juga belajar beragam ilmu di Amerika dan ...
Opini

DENNY JA: PERLU DIBENTUKNYA PUSAT STUDI AGAMA DAN SPIRITUALITAS ERA AI

“Tak satu pun institusi keagamaan, tak satu pun ulama, pendeta, biksu, atau pastur—seberbakat apa pun mereka—dapat menandingi kemampuan Artificial Intelligence dalam membaca jutaan ...