Tidak banyak negara di dunia ini yang memiliki kondisi sospolbud seperti Indonesia. Negara kita ini sangat kaya: kaya-suku, kaya-adat, kaya-budaya, kaya-bahasa, kaya-aliran, dan sebagainya. Kita sebut saja ini sebagai kebinekaan jenis pertama.
Kemudian, kekayaan itu masih banyak lagi. Kalau rangkaian dua kata di atas kita tukar tempatnya, juga menjadi daftar keberagaman lain di tanah tercinta ini. Yaitu, suku-kaya, adat-kaya, budaya-kaya, bahasa-kaya, aliran-kaya, dsb. Kita sebut saja ini sebagai kebinekaan jenis kedua.
Banyak pemimpin asing terkagum-kagum dan menyatakan ketakjuban mereka terhadap kemampuan presiden Indonesia menjaga kebinekaan jenis pertama.
Atas kemampuan presiden menjaga kebinekaan jenis pertama itu, seluruh dunia memberikan gelar kehormatan kepadanya sebagai “Presiden Bhineka”.
Sangat wajar gelar kehormatan ini dipersembahkan kepada presiden Indonesia. Sebagai “Presiden Bhineka”, beliau bisa menjaga kaya-suku (keberagama suku), kaya-adat (keberagaman adat), kaya-budaya (keberagaman budaya), kaya-bahasa (keberagaman bahasa), kaya-aliran (keberagaman aliran), dst.
Tetapi, Indonesia juga memiliki keistimewaan lain: kebhinekaan jenis kedua seperti disebutkan di atas. Yaitu, suku-kaya, adat-kaya, budaya-kaya, bahasa-kaya, aliran-kaya, dll.
Situasi ini menyebabkan presiden Indonesia, mau tak mau, harus pula bisa menjadi presiden yang mampu mempertahankan keberagaman jenis kedua. Tugas untuk menjaga kebinekaan jenis kedua ini, lebih berat lagi.
Presiden harus mampu menyenangkan “suku-kaya” (suku orang kaya). Harus bisa menjaga “adat-kaya” (adat orang kaya). Harus bisa memelihara “budaya-kaya” (budaya orang kaya). Harus selalu mengikuti “bahasa-kaya” (bahasa orang kaya); dan membela “aliran-kaya” (aliran orang kaya), dsb.
Karena kemampuan presiden Indonesia menjaga keberagaman jenis kedua ini, beliau mendapatkan gelar yang tidak begitu mulia tetapi de-facto, yaitu sebutan “Presiden Boneka”.
Kenapa disebut “Presiden Boneka”? Karena di sini presiden berfungsi sebagai pelayan untuk orang-ornag yang masuk ke dalam kategori keberagaman jenis kedua itu. Sebagai pelindung mereka. Membuatkan perangkat peraturan yang menyenangkan mereka. Dan, memuluskan proyek-proyek mereka.
Di puncak pengabdiannya, “Presiden Boneka” akan mengikuti apa saja yang dikatakan oleh orang-orang yang berada di dalam kebinekaan jenis kedua ini. Misalnya, mengikuti kehendak Sembilan Naga, kehendak Seratus Ular, atau kehendak Seribu Banteng.
Kemudian, siapa-siapa sajakah yang bisa disebut sebagai “Presiden Bineka” yang merangkap sebagai “Presiden Boneka”?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Anda perlu berdiskusi dengan para ahli sejarah. Anda bisa menghubungi para sejarawan seperti Jaya Suprana atau Asvi Warman Adam.
Seorang presiden tidak bisa dianugerahkan kedua gelar itu kalau dia masih menjalani masa jabatan. Harus ditunggu setelah menjadi mantan presiden. Penilaian baru bisa dijatuhkan setelah tuntas 5 tahun atau 10 tahun.
Ada tujuh presiden di Indonesia. Enam orang sudah mantan. Presiden ke-7, Pak Joko Widodo, belum bisa dinilai. Sebab, beliau belum menyelesaikan masa tugas lima tahun. Pak Jokowi masih setengah jalan.
Akan sangat aneh kalau Anda sebut Pak Jokowi sebagai “Presiden ½ Bhineka” atau “Presiden ½ Boneka”.
Bagaimana dengan Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY? Sekali lagi, silakan tanya ahli sejarah.(*)
(Artikel ini merupakan opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC).
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #