Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Komisi II masih membahas revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Usulan yang mengemuka dalam revisi tersebut di antaranya terkait waktu penyelenggaraan pilkada. Usulan paling dominan, setelah mempertimbangkan berbagai hal, idealnya pilkada paling cepat digelar pada 2016.
Wacana lain yang juga patut menjadi perhatian adalah soal siapa atau lembaga apa yang paling tepat menangani sengketa hasil pilkada. Dalam UU Pilkada memang sudah ditentukan, untuk sengketa hasil pilkada penanganannya menjadi kewenangan lingkungan Mahkamah Agung (MA), ditangani oleh hakim ad hoc di empat Pengadilan Tinggi yang ditetapkan oleh MA. Dan sebagai lembaga pelaksana undang-undang, mau tidak mau MA harus siap menjalankan perintah undang-undang tersebut.
Namun, cukup menarik ketika memperhatikan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh MA terkait hal ini. Melalui Juru Bicara MA Suhadi, misalnya, MA secara eksplisit mengaku keberatan dengan tugas barunya itu. Alasan MA yang keberatan menangani sengketa hasil pilkada adalah realistis. Terhadap perkara reguler saja, MA saat ini sudah overload. Jika ditambah perkara sengketa hasil pilkada, maka dikhawatirkan penanganannya tidak akan maksimal. Apalagi, seperti dalam penyelenggaraan pemilu-pemilu lainnya, untuk pilkada ini MA juga telah kebagian perkara baik yang ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) maupun persoalan pidana pemilu melalui Pengadilan Negeri (PN).
Dalam sebuah kesempatan, Ketua MA M Hatta Ali juga pernah menyampaikan kekhawatirannya tentang kualitas sumber daya yang dimiliki oleh MA. Menurutnya, tidak banyak hakim yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam kepemiluan. Selain itu, Hatta Ali berpandangan bahwa pilkada ini sangat sarat dengan kepentingan politik, karena pada dasarnya sengketa hasil masih menjadi bagian dari proses politik. Dia berusaha agar hakim-hakim tidak terlibat dalam gesekan politik tersebut.
Dikembalikan ke MK? Banyak pihak masih berharap, pengadil sengketa hasil pilkada sebaiknya dikembalikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK dinilai sebagai lembaga yang paling kompeten dan paling berpengalaman mengemban tugas tersebut. Meskipun konsekuensinya harus ada revisi terhadap UU Pilkada, khususnya terhadap ketentuan pasal yang mengatur penanganan sengketa hasil.
Pertanyaannya, benarkah MK akan siap dengan tugas tersebut? Terlepas dari polemik apakah MK berwenang atau tidak menangani sengketa hasil pilkada, karena MK telah menerbitkan putusan yang pada intinya menyatakan bahwa pilkada bukanlah rezim pemilu sehingga penanganan sengketa pilkada oleh MK adalah inkonstitusional, kesiapan MK perlu dilihat lagi.
Harus diingat, pilkada kali ini berbeda dengan pilkada yang perkaranya pernah ditangani oleh MK di waktu-waktu lalu. Pilkada kali ini adalah pilkada serentak di mana tahapan dan jadwalnya dibuat secara seragam untuk seluruh pilkada. Kesiapan MK di sini kaitannya dengan batasan waktu yang diberikan oleh undang-undang. Di pasal 104 ayat (2), misalnya disebutkan, untuk pengajuan gugatan sengketa hasil batas waktunya 3x24 jam sejak penetapan hasil pilkada diumumkan. Kemudian di ayat (5) dinyatakan, pengadilan harus memutus sengketa hasil paling lama 14 hari sejak permohonan diterima/diregistrasi.
Dengan batasan waktu yang sangat ketat ini rasanya tidak mungkin MK mampu menyelesaikan perkara. Dengan pilkada serentak, dapat dipastikan perkara yang diajukan juga akan berbarengan. Kalaupun ada selisih waktu, itu tidak akan jauh terpautnya. Selanjutya adalah soal jumlah perkara yang kemungkinan akan dimohonkan sengketanya. Kalau pilkada jadi digelar pada 2015, setidaknya akan ada 204 pilkada, dan kalau digelar pada 2016, akan ada sekitar 304 pilkada.
Dari jumlah tersebut, kalau permohonan sengketanya dihitung paling minimal saja, misalnya 50 permohonan, maka itu akan menjadi beban berat bagi MK. Diketahui, lembaga MK hanya ada satu yang berkedudukan di Ibu Kota negara. Tidak ada perwakilan MK di daerah yang dapat membantu tugas-tugas MK. Dengan jumlah perkara 50, jika 1 perkara rata-rata sidangnya memakan waktu 2 jam, maka paling maksimal dalam sehari akan ada 5 perkara yang disidangkan. Itu artinya butuh waktu 10 hari untuk menyidangkan 50 perkara. Dan biasanya, setiap perkara tidak mungkin dapat selesai hanya dalam sekali sidang. Selain itu, setelah selesai persidangan, butuh waktu untuk menyusun draf putusan.
Jadi intinya, penanganan sengketa hasil pilkada serentak ini berbeda jauh dengan sengketa hasil pilkada sebelumnya. Dan melihat kondisi MK, tidak relevan lagi untuk menanganinya. Serahkan ke Institusi Kepemiluan Selain MA dan MK ada wacana juga agar dibentuk sebuah lembaga khusus yang menangani sengketa hasil pilkada. Akan tetapi melihat pelbagai pertimbangan, sepertinya tidak memungkinkan membuat lembaga tersebut. Dari segi waktu, pilkada serentak sudah sangat dekat, sementara sebuah lembaga baru pasti akan membutuhkan persiapan infrastruktur yang tidak sebentar. Sebuah lembaga baru butuh sumber daya manusia yang punya kompetensi, dalam konteks ini terkait penyelesaian sengketa hasil pilkada dan punya pengalaman di kepemiluan. Untuk menentukan mereka-mereka yang akan duduk di lembaga itu, butuh waktu karena ada proses seleksi. Belum lagi, lembaga tersebut juga butuh tenaga-tenaga pendukung yang jumlahnya tidak sedikit. Secara pembiayaan, dibentuknya lembaga baru ini pasti akan memerlukan sumber dana yang tidak sedikit pula.
Dari tiga pilihan di atas, MA, MK, atau lembaga khusus banyak kekurangan yang melingkupinya. MA tidak kompeten, MK sudah tidak relevan, dan lembaga baru tidak efektif. Kemudian kepada siapa persoalan sengketa hasil ini sebaiknya diserahkan? Kenapa tidak pernah dipikirkan urusan itu diserahkan saja ke salah satu lembaga kepemiluan seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Toh, soal kepemiluan memang sudah menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) tiga lembaga ini. Dengan kata lain, persoalan pemilu sudah menjadi “makanan” mereka sehari-hari.
Memang harus ditimbang-timbang, dari tiga lembaga itu siapa yang paling tepat untuk diserahi tugas berat tersebut. Sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, ketiga lembaga adalah satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Daripada berpikir lembaga lain ikut cawe-cawe dalam urusan kepemiluan, lebih baik memaksimalkan tiga lembaga ini. Tinggal dipilih salah satu dari ketiganya, dan ditambahi kewenangannya. Meminjam teori Trias Politika, ketiga lembaga tersebut sudah memenuhi tiga unsur yang menjadi prasaratnya. KPU sebagai penyelenggara adalah eksekutifnya, Bawaslu sebagai pengawas adalah legislatifnya, serta DKPP sebagai peradilan kode etik KPU dan Bawaslu adalah yudikatifnya.
Dari ketiganya, jika dilihat dari tupoksi dan kredibilitasnya, DKPP adalah lembaga yang paling tepat untuk menangani sengketa hasil pilkada serentak. Bukan bermaksud mengesampingkan kredibilitas KPU dan Bawaslu, akan tetapi dua lembaga ini seperti digariskan oleh undang-undang adalah lembaga yang secara teknis terlibat langsung dalam penyelenggaraan pilkada. Kedua lembaga tersebut, karena tugas dan fungsinya, dapat menjadi objek perkara baik di pengadilan umum maupun di peradilan etik DKPP. Oleh karena itu, dugaan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) di dua lembaga ini tidak dapat dihindarkan.
Sementara itu, kalau sengketa hasil ditangani oleh DKPP, akan banyak keuntungan yang didapatkan. Tinggal ditambahi saja kewenangannya, dari yang hanya memeriksa dan memutus adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh para penyelenggara pemilu, ditambah menjadi berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa hasil pilkada. Putusan DKPP yang selama ini bersifat final dan mengikat juga berlaku untuk perkara sengketa hasil sehingga tidak ada lagi upaya hukum untuk menggugatnya. Soal infrastruktur, sumber daya manusia, dan pengalaman DKPP sepertinya tidak perlu diragukan lagi.
Kemampuan dan pengalaman tujuh anggota DKPP dalam menangani perkara kepemiluan sudah sangat mumpuni. Ketua DKPP Prof Jimly Asshiddiqie adalah mantan ketua MK yang sarat pengalaman menangani sengketa hasil pemilu. Dia juga pernah menjabat sebagai ketua Dewan Kehormatan KPU (DK-KPU) sebelum ada DKPP. Tiga anggota DKPP, yakni Nur Hidayat Sardini, Saut Hamonangan Sirait, dan Valina Singka Subekti pernah menjadi penyelenggara pemilu. Nur Hidayat Sardini adalah mantan ketua Panwaslu Jawa Tengah dan mantan ketua Bawaslu RI. Valina Singka Subekti dan Saut Hamonangan Sirait sama-sama pernah menjadi anggota KPU. Satu anggota, yakni Prof Anna Erliyana adalah guru besar hukum administrasi negara di Universitas Indonesia. Sedangkan dua anggota lagi adalah perwakilan dari KPU dan Bawaslu, yaitu Ida Budhiati dan Endang Wihdatiningtyas.
Menurut undang-undang, lembaga DKPP memang hanya ada satu yang berkedudukan di Ibu Kota negara. Namun, dalam penanganan sebuah perkara DKPP diperbolehkan untuk membentuk Tim Pemeriksa Daerah (TPD) di 33 provinsi. Tugas TPD adalah membantu DKPP dalam sidang-sidang pemeriksaan di provinsi sesuai asal perkara. Kurang lebih setahun ini, TPD bekerja, terutama ketika DKPP menangani perkara Pemilu Legislatif 2014. Dari data DKPP diketahui, selama Pemilu Legislatif 2014, DKPP bersama TPD telah memutus sebanyak 333 perkara. Ini tentu jumlah yang tidak sedikit, namun DKPP mampu menunjukkan bahwa lembaga ini sangat efektif menangani perkara.
Anggota TPD yang disebutkan di atas adalah orang-orang pilihan di setiap provinsi. Mereka berjumlah empat orang. Dua orang perwakilan dari KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi. Dua lagi adalah tokoh masyarakat setempat yang rata-rata mantan penyelenggara pemilu dan akademisi bergelar profesor doktor yang berpengalaman dalam proses kepemiluan sebagai panitia seleksi KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi. Jika dimaksimalkan kewenangannya, dapat dipastikan mereka akan jauh lebih siap dibandingkan harus membuat lembaga baru.
Hal yang membuat optimistis DKPP mampu menjadi pengadil sengketa hasil pilkada adalah terkait materi gugatan. Jika pernah mengikuti persidangan di DKPP atau membaca putusan-putusan DKPP, banyak ditemukan adanya pengadu yang sama. Artinya, selain menggugat ke DKPP juga menggugat ke MK. Materi gugatannya pun tidak jauh beda, baik yang diajukan ke DKPP maupun yang dimohonkan ke MK. Hanya saja, ada sudut pandang yang berbeda antara DKPP dan MK dalam membuat putusannya. DKPP melihat dari sisi etika, sedangkan MK melihat dari sisi signifikansi selisih suara.
Ada keuntungan tersendiri bagi DKPP kalau sengketa hasil ini kemudian menjadi kewenangannya. Semisal ada seorang pengadu secara sekaligus mengajukan gugatan etis dan gugatan sengketa hasil, maka dua materi gugatan dapat dipelajari sekaligus. Bisa jadi, putusan sengketa hasil yang akan diputus terlebih dahulu, menjadi pertimbangan untuk memutus perkara etika. Bagi para pihak, baik pengadu, teradu, pihak terkait, dan saksi juga akan dimudahkan dalam proses persidangan. Mereka tidak perlu hadir di dua tempat berbeda untuk menjalani persidangan. Alur persidangan pun akan lebih mengalir dan tidak kehilangan konteks, karena antara majelis dan para pihak sudah sama-sama tahu pokok materi pengaduan. Hal-hal semacam inilah yang perlu diperhatikan sebelum rapat paripurna DPR mengetuk palu pengesahan UU Pilkada.(yn)
Arif Syarwani - Peneliti di Lembaga Survei Independen Nasional (LSIN), Jakarta
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #Pilkada #MA #KPU #DKPP