Opini
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) pada hari Senin, 31 Jul 2017 - 06:36:20 WIB
Bagikan Berita ini :

Perburuan Berlanjut: Mungkinkah Diwajibkan “Surat Bersih HTI”?

1IMG_20170201_194417.jpg
Asyari Usman (Wartawan Senior) (Sumber foto : Istimewa )

Perburuan, demonisasi, dan ancaman terhadap para simpatisan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), berlanjut terus. Kemarin, Sabtu (29/7/17), Menteri Ristekdikti, Prof Muhammad Nasir, mengeluarkan ultimatum kepada para dosen yang mendukung HTI: setia pada Pancasila atau keluar dari kampus.

Pemerintah mengatakan Perppu 2/2017 berlaku untuk semua ormas. Tetapi, sejauh ini hanya terfokus ke HTI. Ormas dakwah ini dikepung dari segala arah. Mirip seperti Densus 88 ketika mengepung orang-orang yang disebut sebagai teroris.

Tidak bisa diprediksi apa langkah penguasa berikutnya. Namun, semua isyarat yang muncul menunjuk ke satu titik: bahwa penguasa akan mengikis habis keberadaan HTI dan jejak-jejaknya di semua ruang kehidupan.

Tidak tertutup kemungkinan pihak penguasa akan mengeluarkan kebijakan “surat bersih HTI” bagi warga masyarakat yang ingin melakukan berbagai urusan. Yaitu, semacam surat keterangan bahwa seseorang tidak terlibat HTI.

Dulu, di masa-masa awal pasca-pemberontakan PKI 1965, pemerintah mengharuskan semua orang memiliki “surat bebas G30S/PKI” untuk macam-macam urusan, termasuk melamar pekerjaan di instansi pemerintah, atau mau memohon surat atau sertifikat penting.

Di masa itu, semua orang yang mau memulai urusan harus menyiapkan surat keterangan yang menyatakan diri mereka tidak terlibat G30S/PKI. Kepala desa atau lurah mengeluarkan surat ini. Terkenal dengan sinngkatan SKTT, yaitu Surat Keterangan Tidak Terlibat (G30S/PKI). Ada juga yang menamakannya SKBL (Surat Keterangan Bersih Lingkungan).

Selain kepala desa atau lurah, SKTT G30S/PKI waktu itu bisa juga dikeluarkan oleh instansi lain semisal dekan, rektor, dlsb.

Isi SKTT adalah keterangan bahwa orang yang disebutkan namanya di surat itu, tidak terlibat gerakan G30S/PKI, yaitu pemberontakan PKI yang terjadi pada 30 September 1965. Terkadanag dijelaskan pula bahwa orang itu berkelakuan baik, tidak pernah terlibat tindak pidana, dll.

Setengah lucunya, pada tahun 1965 itu saya baru berusia 8 (delapan) tahun. Tetapi, ketika akhir 1970-an saya perlu berurusan dengan instansi pemerintah atau perushaan swasta besar (untuk melamar pekerjaan), SKTT itu menjadi syarat mutlak. Kalau tidak ada, berkas lamaran akan ditolak.

Kalau diamati langkah-langkah yang telah diambil pemerintah terhadap HTI, ada saja kemungkinan pihak yang berkuasa akan mewajibkan SKTT HTI bagi semua orang yang berurusan dengan instansi pemerintah dan perbankan. Kemungkinan ini didasarkan pada fakta yang menunjukkan begitu paranoidnya pemerintah terhadap ormas ini.

Kalau di zaman PKI dulu masih bisa dipahami kenapa penguasa memberlakukan kebijakan SKTT. Sebab, perbuatan massa PKI sangat, sangat keji. Sekian banyak ulama yang mereka bunuh. Jaringan organisasi PKI pun sangat kuat waktu itu. Mereka bisa saja melakukan infiltrasi ke dalam instansi pemerintahan untuk tujuan konsolidasi, misalnya.

Sudah demikian ketat pun filterisasi PKI di masa itu, ternyata sekarang mereka sudah bangkit dengan berani dan terang-terangan.

Tidak tertutup pula kemungkin penguasa akan mengharuskan para PNS dan dosen simpatisan HTI mengikuti pembinaan dan diharuskan lulus pembinaan itu. Kemudian diterbitkan sertifikat kelulusan. Artinya, yang bersangkutan sudah bersih dari paham HTI. Sekaligus menjelaskan pula bahwa orang itu telah “kembali ke jalan yang benar”.

Selain SKTT, bisa jadi juga penguasa akan mencekal karir orang-orang mantan simpatisan HTI meskipun sudah lulus pembinaan Pancasila dan NKRI. Jadi, para aktivis dakwah HTI yang dibolehkan tetap sebagai PNS, kemungkinan akan dicegah (secara tak tertulis) untuk naik pangkat dan/atau jabatan.

Sekali lagi, ini semua kemungkinan yang sangat terbuka pasca-penerbitan Perppu 2/2017.

Teringat lagi dengan kutipan Niccolo Machiavelli yang lain: “If an injury has to be done to a man, it should be so severe that his vengeance need not be feared.”

Kira-kira maknanya: kalau mau menggebuki seseorang, haruslah sampai babak belur betul supaya tidak bisa membalas lagi.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Menguak Polemik Pembangunan Pagar Laut: Benarkah Swadaya Nelayan?

Oleh M Rizal Fadillah
pada hari Senin, 13 Jan 2025
Ketika pihak perusahaan Aguan menyatakan tidak mengetahui siapa yang membangun pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Pantai Utara (Pantura), muncul kelompok bernama Jaringan Rakyat Pantura (JRP) ...
Opini

Hasto Ditahan KPK karena Dendam Politik, PDIP Terima?

Langkah KPK dalam memanggil dan berupaya menahan Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, pada pemeriksaan hari ini (13/1), memunculkan berbagai spekulasi. Banyak pihak bertanya-tanya, apakah tindakan ini ...