Di dunia politik internasional, ada momen-momen bersejarah yang membuat kita tertawa, seraya bertanya: "Ini nyata atau cuma episode tambahan dari acara komedi situasi?" Dan saat ini, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali membuktikan bahwa realitas bisa lebih absurd dari fiksi yang sudah fiktif.
Baru saja, China – negara yang dikenal sabar seperti biksu Shaolin – akhirnya kehabisan stok kesabaran. Dengan segenap ketegasan yang jarang mereka keluarkan kecuali saat Olimpiade atau saat diskon besar-besaran di Singles" Day, China mengumumkan tarif balasan kepada AS sebesar 84%.
Ya, Anda tidak salah baca: delapan puluh empat persen! Tarif ini berlaku mulai Kamis, 10 April 2025, dan kabarnya ini barulah merupakan balasan "kecil-kecilan" atas ulah Trump yang menaikkan lagi tarif atas barang-barang China dari 54% jadi 104%. Masih akan ada balasan lanjutan jika AS terus berulah.
Pemerintah China dalam pernyataannya bahkan terdengar seperti karakter film kungfu klasik: "Jika AS bersikeras meningkatkan pembatasan ekonomi dan perdagangannya, Tiongkok memiliki kemauan kuat dan sarana melimpah untuk berjuang sampai akhir." Dalam bahasa diplomatik, itu artinya: "Kami siap, bro. Mau lanjut?"
Dengan tarif balasan sebesar 84%, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat kini seperti balita yang baru saja kehilangan balon di taman: kebingungan, frustasi, dan sebagian besar hanya bisa menangis diam-diam. Para produsen yang selama ini menggantungkan bahan baku murah dari China harus menghadapi kenyataan pahit.
Harga komponen melonjak, margin laba menguap, dan investor kabur lebih cepat dari kucing yang dikejar anjing. Elon Musk, misalnya, nilai sahamnya langsung nyungsep ke laut. Gara-gara tarif ini, dia seolah-olah dipaksa memilih antara bertahan bersama Trump atau bertahan bersama perusahaannya. Dan ia memilih yang kedua.
Perusahaan besar seperti Apple berdarah-darah. Selama empat hari ini berturut-turut, sahamnya ambruk 23%. Kapitalisasi pasarnya merosot menjadi US$2,59 triliun. Apple memang banyak merakit iPhone di China. Komponen iPhone juga mayoritas berasal dari sana. Harga iPhone 16 melonjak dari US$799 menjadi US$1.142, siapa mau beli?
Masalahnya, ketergantungan AS pada produk China bukan sekadar soal "harga murah", tapi juga soal kemampuan produksi. Banyak barang China, mulai dari baterai lithium untuk mobil listrik, semikonduktor tingkat menengah, hingga panel surya dan peralatan medis, tak bisa begitu saja digantikan oleh produsen lokal AS.
Butuh bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, untuk membangun rantai pasok baru. Jadi kalau Trump berharap Amerika bisa "berdiri di atas kaki sendiri" hanya bermodal slogan menggebu dan tarif tinggi, mungkin beliau perlu diingatkan: membangun pabrik itu tidak semudah membangun tembok di perbatasan.
Bersama itu di tanah air Paman Sam, suasana tak kalah panas. Demonstrasi anti-Trump merebak di mana-mana. Kaum liberal, moderat, hingga beberapa orang yang dulu hanya peduli pada TikTok kini kompak turun ke jalan. Spanduk bertebaran, dengan slogan kreatif seperti "Make Sanity Great Again" dan "Tariffs Hurt, Not Help".
Namun drama terbesar bukanlah perang dagang itu sendiri, melainkan pengkhianatan halus dari sahabat Trump di dunia bisnis: Elon Musk. Dalam sebuah video yang cepat viral (tentu saja, karena ini lebih seru dari final NBA), Elon Musk secara tidak langsung mengumumkan dirinya keluar dari pemerintahan Trump.
Bukan hanya keluar, ia juga menampar kebijakan Trump dengan mengkritik telak Peter Navarro, dalang di balik strategi tarif Trump. Alasannya sederhana namun menyakitkan: kekayaan Elon Musk anjlok sekitar 2.100 triliun rupiah gara-gara saham-saham Tesla, SpaceX, dan kawan-kawan terjun bebas seperti peserta lomba terjun payung tanpa parasut.
Bagi Trump, kehilangan Elon Musk sama seperti Iron Man kehilangan arc reactor-nya: tiba-tiba terlihat sangat biasa, sangat rapuh, dan sangat, sangat sendirian. Teralienasi.
Kondisi Trump kini, bila digambarkan dengan metafora sederhana, mirip seorang DJ yang memutar lagu di pesta kosong – tidak ada yang menari, tidak ada yang bertepuk tangan, dan bahkan lampu disko pun ogah berputar.
Jika perang tarif ini terus berlanjut tanpa solusi, dalam jangka panjang AS justru berisiko menembak kakinya sendiri. Konsumen Amerika akan menghadapi harga barang yang makin mahal, perusahaan-perusahaan akan memangkas investasi dan tenaga kerja, serta ekonomi bisa melambat lebih cepat dari kecepatan Trump mengetik di Twitter.
Alih-alih membuat Amerika "great again", kebijakan ini berpotensi menggeser kekuatan ekonomi global lebih jauh ke arah Asia, sambil meninggalkan AS terengah-engah mencoba memperbaiki kerusakan yang dibuat oleh egonya sendiri.
Di balik semua kelucuan ini, ada pelajaran serius yang perlu diambil. Kebijakan ekonomi berbasis ego, tanpa analisa makroekonomi yang matang, bisa membuat negara adidaya sekalipun terlihat seperti badut dalam pesta diplomasi dunia.
Pendekatan unilateral Trump, yang menolak kompromi, kini membuat sekutu menjauh, mitra dagang berbalik menyerang, dan investor melarikan diri lebih cepat dari pelari maraton yang mengejar medali emas.
Dalam situasi seperti ini, diperlukan lebih dari sekadar pidato membakar semangat ala Trump. Dibutuhkan pemimpin yang mampu membaca peta global dengan cerdas, berani merendah untuk menang, dan memahami bahwa dunia tidak bisa diatur dengan tweet semata.
Mungkin sudah saatnya AS mengganti slogan mereka. Bukan lagi "America First" tapi "America Wise." Dunia ini, seperti catur, bukan soal siapa yang bergerak pertama, tapi siapa yang berpikir lebih panjang. Dan dalam permainan panjang ini, tampaknya China baru saja menunjukkan, mereka membawa lebih dari sekadar pion di papan.
Cak AT - Ahmadie Thaha
Ma"had Tadabbur al-Qur"an,10/4/2025
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #