Sebetulnya tidak ada yang aneh dari perilaku kebijakan ekonomi Presiden Trump. Penggunaan instrumen tarif sebagai alat proteksionisme perdagangan sudah sering dipergunakan oleh beberapa Presiden Amerika Serikat dalam 100 tahun terakhir.
Uniknya, penggunaan Instrumen tarif ini memang khas bagi Presiden Amerika Serikat dari kalangan Partai Republik. Di tahun 1930, Presiden Herbert Hoover mengesahkan Smooth-Hawley Act untuk melindungi sektor pertanian AS dari serbuan impor. Di tahun 1987, Presiden Ronald Reagan menarget industri otomotif Jepang dengan mengenakan tarif 100% terhadap sejumlah produk Jepang. Tujuannya untuk menekan Jepang untuk lebih membuka diri bagi penetrasi industri otomotif AS di Jepang dimasa itu.
Di tahun 2002, Presiden G.W. Bush juga mengenakan tarif 30% terhadap impor baja dari Eropa. Tujuannya melindungi Indsutri Baja AS yang sedang mengalami masalah serius.
Bangunan pemikiran kebijakan ekonomi kalangan Republikan memang memungkinkan hampir semua Presiden AS dari kalangan Republik, khususnya yang berasal dari sayap Konservatifnya, untuk menggunakan Instrumen Tarif dalam kebijakan perdagangan internasionalnya.
Tetapi Presiden Trump memang unik. Alih-alih menggunakan tarif selektif terbatas, Trump memilih menggunakan Tarif sebagai senjata pamungkas raksasa. Tidak hanya kepada satu atau dua negara, tapi mencakup lebih dari 65 negara yang dianggapnya menciptakan defisit perdagangan bagi AS. Tidak ada preseden semacam ini dalam sejarah modern perang dagang antar negara.
Karena tanpa preseden, reaksi dunia pun juga seperti tidak percaya. Cara Trump menggunakan instrumen tarif memang tidak memiliki pra teks normal yang dapat digunakan untuk mencerna kebijakannya. Tidak ada model norma rasional yang selama ini dipraktikkan dalam perdagangan internasional yang bisa dipakai untuk memahami kebijakan Trump.
Kebijakan unik ini bukannya tanpa hasil. Seketika, semua tindak tanduk kebijakan Trump menjadi magnet bagi aktivitas ekonomi. Pasar Modal dunia bergerak liar mengikuti irama genderang kebijakan Trump. Negara-negara yang ada dalam daftar sasaran tarif AS, berlomba-lomba mengeluarkan kebijakan mitigatifnya. Mulai dari pemberlakuan tarif pembalasan ( retaliatory tarif) hingga tawaran tarif 0% (zero tariff) bagi produk-produk AS.
Sampai di sini, Presiden Trump terlihat berhasil menggunakan kharisma pengaruh perekonomian AS untuk menciptakan efek kejut yang besar. Ekonomi AS memang sangat sentral dan dominan dalam percaturan ekonomi dunia. Trump sukses menunjukkan besarnya ketergantungan ekonomi dunia terhadap perekonomian AS. 65 negara yang disasarnya, faktanya memiliki ketergantungan ekonomi yang besar terhadap AS.
Trump nampaknya hendak membangun persekutuan perdagangan baru diatas apa yang dianggapnya sebagai persekutuan lama yang sudah tidak lagi menguntungkan AS. Dalam pandangannya, 65 negara dengan ekonomi kuat dan memiliki hubungan bisnis yang solid dengan AS adalah modal bagi persekutuan baru itu.
Trump hanya menginginkan agar negara-negara itu sadar akan itu, bersedia tunduk dalam negosiasi pada pakta baru ekonomi yang dikendalikan AS. Dan menerima fakta, bahwa AS adalah negara eksportir, bukan negara importir, pusat bagi manufaktur global dan mata rantai pasokan global. Trump sedang membangun Tata Ekonomi Dunia yang baru, dengan AS sebagai pusatnya.
Pemahaman semacam ini akan membawa kita pada satu posisi berpikir bahwa apa yang dilakukan Trump ini barulah permulaan dari suatu proses yang panjang. Ini bukan kebijakan dengan tujuan temporer, melainkan kebijakan yang bertujuan panjang, strategis bagi AS dan akan memakan waktu yang lama. Dan dunia dipaksa menormalisasikan drama-drama ini, menjadikan ketidakpastian sebagai kepastian baru di ranah perdagangan global.
Model berpikir seperti ini penting bagi kita di Indonesia. Terutama bagi para perancang kebijakan negara. Respon pemerintah Indonesia mesti dirancang dalam jangka panjang. Itupun dengan tidak mengabaikan mitigasi jangka pendeknya untuk mengatasi dampak kejutan ( shock ) jangka pendek yang dialami.
Dalam hal ini ada beberapa hal yang nampaknya mungkin dijadikan sebagai dasar kebijakan itu.
Pertama, sebagai negara yang menganut politik internasional bebas aktif, penting bagi Indonesia untuk menunjukan sikap kooperatif dan keinginan untuk mencapai kesepakatan baru yang menguntungkan kedua belah pihak. konsekuensinya, pemerintah mesti mengesampingkan penggunaan instrumen tarif pembalasan ( retaliatory tarif ) dalam opsi kebijakannya.
Kebijakan intimidatif AS terhadap perekonomian Indonesia tidak harus direspon secara emosional. Dalam hal ini, pesan Presiden Prabowo untuk tidak bereaksi emosional terhadap kebijakan AS adalah pesan yang tepat dan patut untuk dilaksanakan.
Kedua, Indonesia juga mesti aktif untuk menggunakan organisasi-organisasi ekonomi dunia yang Indonesia terlibat didalamnya sebagai sarana mitigasi jangka panjang. ASEAN, G20, APEC adalah diantara forum-forum yang dapat berguna bagi penguatan posisi Indonesia.
Jangan dilupakan satu aspek penting yang menjadi titik lemah dari kebijakan Tarif Trump. Kebijakan ini menempatkan AS sebagai “ lawan” bagi banyak negara dengan ekonomi kuat di dunia. AS hanya akan sukses dalam jangka panjang, jika berhasil dalam memecah dan mencegah konsolidasi dari negara-negara yang disasarnya. AS akan berusaha keras mengeksploitasi sifat pragmatis dan keinginan untuk menyelamatkan kepentingan nasional masing-masing-masing dari negara-negara itu.
Sebaliknya, jika negara-negara itu cukup kuat dalam berkonsolidasi, mau menegosiasikan kepentingan nasionalnya dalam kerangka kepentingan stabilitas perdagangan global, maka AS akan berada dalam posisi terpojok, terisolasi bahkan oleh sekutu-sekutu terdekatnya.
Ketiga, Sasaran utama dari kebijakan tarif Trump ini tetap saja adalah kompetitor utamanya, China. Trump telah memperluas zona persaingannya dengan China. Jelas bahwa Trump tidak menghendaki China menggunakan banyak negara yang ada didalam listnya sebagai “proxy” eksportnya ke AS. Vietnam Contohnya, adalah salah satu negara yang paling tinggi tarifnya.
Bagi Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam dan populasi yang besar, ini tentu merupakan peluang tersendiri. AS menyadari betul sifat interdependensi perdagangan global. AS tetap memerlukan pusat produksi baru yang menguntungkan perekonomian domestiknya. AS memerlukan sentra pasokan baru bagi kepentingan konsumennya.
Indonesia mesti hadir di sini. Dalam hal ini, tentu kita akan bersaing dengan India, yang dalam dua dekade terakhir telah berupaya keras menyakinkan pelaku bisnis AS untuk menjadikan India sebagai alternatif bagi China.
Langkah-langkah ini tentu memerlukan kerja keras dan upaya sungguh-sungguh. Tetapi seperti kata pepatah, “in every great crisis, lies great opportunity” ( Dalam setiap krisis besar, terdapat kesempatan besar” ).Wallahualam.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #