Opini
Oleh Zeng Wei Jian pada hari Rabu, 23 Agu 2017 - 16:55:08 WIB
Bagikan Berita ini :

Politik Infrastruktur

92IMG_20170414_195606.jpg
Zeng Wei Jian (Sumber foto : Istimewa )

Mega proyek infrastruktur punya economically transformative capacity. Mestinya begitu. Misalnya, Panama Canal. Di Belanda, proyek North Sea Protection Works melindungi sebagian daratan dari tenggelam ke dasar laut.

Hasil megaproyek infrastruktur Dubai Airport sukses serap 21% tenaga kerja lokal dan menyumbang 27% GDP. Di Indonesia, Jembatan Barito Kuala ambruk setelah dua tahun beroperasi. Gunakan APBN pulak, sebesar 17,4 Milyar.

Mestinya, Jakarta bangun "great dams". Sebagai antisipasi potensi banjir rutin. Bukan bikin pulau-pulau artifisial. Beda dengan Dubai Airport, proyek ini hanya akan serap ratusan ribu orang jadi pembantu di rumah-rumah orang kaya international buyers, para penghuni pulau-pulau reklamasi. Bangun pabrik di kawasan berikat masih lebi punya nilai economic transformative.

Memasuki 2017, Trump juga berusaha genjot infrastruktur. Biayanya diambil dari pajak orang-orang kaya dan gas. Bukan ngambil dana haji, majakin ojek online atau ngutang.

Jadi, budget sosial buat orang-orang kere ngga dipotong. Di sini, Sri Mulyani bahkan berpikir majakin mahasiswa. Tax Amnesty uda tutup buku. Orang-orang kaya ngga bisa ditekan bayar pajak.

Di sisi lain, Tiongkok sedang gencar deploy 1 triliun dolar ke 60 plus negara. China is pushing to remake global trade. Rencananya, China hendak nge-lead the new globalization 2.0 dengan membiayai mega infrastruktur projects. Mirip-mirip Marshall Plan (America's postwar reconstruction effort). China ngga ragu kasi pinjaman miliaran dollar tanpa obligasi militer.

Di Pakistan, Port Gwadar dibangun. Bagian dari investasi 46 miliar dolar on infrastructure and power plant project yang disebut "China-Pakistan Economic Corridor". China kirim 100.000 tenaga kerja bikin rel kereta api sepanjang 260 mil di Laos. Teritori bermasalah di Kashmir dibelah jalan raya. Bikin India semaput.

Selain world dominion agenda, Politik Infrastruktur Tiongkok merupakan strategic anticipation melambatnya perekonomian domestik. Produksi baja, semen, dan mesin-mesin China melimpah. Eksesif. Surplus. Plus bursa buruh kasar. To keep its economic engine going, Mr Xi Jin Ping harus mencari pasar baru. Khususnya negara-negara miskin dan sedang berkembang.

Selain menciptakan new market, Tiongkok mengeksport its model of state-led development. Jadi, jangan heran bila pola-pola diktatorial, polizeistaat, tabrak hukum, tangkep orang, sensor, communist style government ditemukan di negara-negara orbit China.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
IDUL FITRI 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
IDUL FITRI 2025 WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2025 HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2025 HERMAN KHAERON
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ijazah, Integritas, dan Ujian Kultural UGM

Oleh Afnan Malay
pada hari Rabu, 16 Apr 2025
TEROPONGSENAYAN.COM - Bukan kebetulan jika masyarakat Indonesia menaruh harapan begitu besar pada Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam sejarahnya, UGM tidak sekadar institusi pendidikan tinggi. Ia ...
Opini

Mengenal Muhammad Arif Nuryanta, Hakim Terpeleset Suap 60 Miliar

Banyak sudah saya kenalkan koruptor elite di negeri ini. Saya pikir sudah tidak ada lagi. Eh, masih ada nongol. Namanya sangat keren berbau religius, Muhammad Arif Nuryanta. Sambil menunggu makan ...