JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Lesunya daya beli masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini merupakan gejala anomali di tengah meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal ketiga tahun ini.
Berdasarkan data BPS, tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2017 tumbuh melambat ke level 4,93% dari periode 3 bulan sebelumnya yang sebesar 4,95%. Melambatnya konsumsi ini terjadi saat perekonomian Indonesia tumbuh ke level 5,06%.
"Konsumsi rumah tangga yang 4,93% kami lihat secara hati-hati. Di satu sisi inflasi sangat rendah. Ini ada satu anomali. Ini memang ada indikasi upah di pertanian dan konsumsi yang tidak meningkat. Ini menjadi sesuatu yang perlu dipelajari," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Pusat Ditjen Bea dan Cukai, Jakarta, Rabu (8/11/2017).
Anomali tersebut, kata Sri Mulyani, mengenai pola konsumsi masyarakat yang berubah, atau memang menahan konsumsi khususnya di kelas menengah atas.
Dia mengakui, bahwa telah terjadi peningkatan jumlah tabungan di atas Rp 5 miliar. Dengan kata lain, masyarakat kelas atas yang memiliki daya beli menyimpan uangnya di bank.
"Ini berarti masalah apakah mereka berubah dari sisi pola konsumsi dan perubahan itu belum terekam dari seluruh konsumsi yang dicatat BPS. Itu kami juga mau pahami," ungkap dia.
"Karena bukan masalah daya beli, tapi apakah karena belum ter-capture atau karena menahan? Apakah karena mungkin confident. Tapi confident konsumen itu tinggi banget. Jadi ada yang enggak ketemu di sini. Confident tinggi, daya beli ada, tapi ada yang tidak terekam di sini. Jadi ini yang harus kami perhatikan. Kami akan terus lakukan pembahasan," tambah dia.
Sedangkan untuk kalangan kelas bawah, reaksi pemerintah, kata Sri Mulyani, akan terus dibantu melalui program sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), beras sejahtera (rastra) hingga pemanfaatan dana desa yang bisa menciptakan kas langsung diterima masyarakat.
"Itu harus dilakukan dengan desain agar masyarakat bisa langsung menikmati sehingga daya belinya bisa meningkat," jelas dia.
Meski demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini masih akan terus mempelajari secara dalam terkait dengan anomali tersebut. Dia memastikan, jika masalahnya berasal dari inflasi maka pemerintah akan menjaganya di level rendah. Lalu, jika masalahnya di pendapatan maka pemerintah akan menyediakan kesempatan kerja.
"Kalau untuk menengah ke atas dan itu berhubungan dengan lapangan kerja maka indikator seperti impor bahan baku dan investasi yang naik, indikator ini menunjukan bahwa kesempatan kerja akan tercipta. Oleh karena itu, momentumnya kami jaga," tukas dia. (aim)