Opini
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) pada hari Minggu, 03 Des 2017 - 10:53:30 WIB
Bagikan Berita ini :

Reuni 212: Untuk Apa Kumpul-kumpul Lagi?

92IMG-20171116-WA0003.jpg
Asyari Usman (Wartawan Senior) (Sumber foto : Istimewa )

Banyak orang yang pusing memikirkan apa alasan umat Islam kumpul lagi di Jakarta dengan tema Reuni 212. Mereka sibuk mencari logika di balik “kumpul lagi” itu. Sibuk mencari jawaban, “untuk apa?”.

Bagi mereka, reuni semacam ini tidak ada gunanya. Sia-sia! Buang-buang waktu, tenaga dan dana.

“Mereka” yang sibuk memikirkan alasan kumpul itu, ada dua golongan. Yang pertama adalah “mereka” yang benar-benar tidak paham mengapa umat Islam harus datang lagi ke Jakarta pada HUT aksi damai 212. Yang kedua adalah “mereka” yang selalu mengantongi kalkulator politik; yang membawa sempoa politik ke mana-mana karena “mereka” paranoid.

Yang pertama. Mereka ini tidak banyak jumlahnya. Mereka dari hari ke hari sibuk dengan dunianya, tidak mau tahu dengan keniscayaan untuk membangun persatuan di kalangan umat. Sebagian mereka malah merasa tidak perlu mempersoalkan siapa yang seharusnya menjadi pemimpin dan bagaimana umat harus dipimpin.

Bagi mereka, yang paling penting adalah roda kehidupan biologis bisa berjalan normal, ada penghasilan, dan makan-minum lancar. Dalam bahasa percandaan biasa disebut “yang penting dapur berasap, perut kenyang”. Jadi, kalau “parameter perut” ini tidak bermasalah, sudah cukup. Tidak perlu memikirkan bagaimana kondisi umat, siapa yang memimpin umat, apa-apa saja tantangan yang dihadapi umat, dlsb.

Karena itu, mereka merasa tidak perlulah bersusah payah beraksi solidaritas dan mengekspresikan keresahan terhadap cara negara dikelola oleh pemegang kekuasaan. Tidak perlu aksi damai umat Islam, apalagi disusul pula dengan kumpul-kumpul reuni seperti Reuni 212, kemarin. Inilah “mereka” yang masuk golongan pertama.

Kemudian ada “mereka” kategori kedua. Yaitu, orang-orang yang sangat sadar bahwa aksi damai umat yang menunjukkan persatuan adalah “ganjalan” bagi mereka. “Mereka” ini adalah pemegang kekuasaan dan para pendukung serta simpatisannya. Ke mana mereka pergi, kalkulator politik selalu ada di saku. Sempoa politik tetap ada di laci meja kerja mereka.

Begitu ada aksi umat, baik aksi damai setahun yang lalu maupun aksi reuni, kalkulator dan sempoa langsung dikeluarkan untuk menghitung apa maksud reuni, mengapa jutaan orang masih saja rela datang ke Jakarta dari tempat yang jauh-jauh, siapa dalangnya, ke mana arahnya, dll. Semua dihitung. Berhitung sambil memikirkan bagaimana cara untuk membuat agar solidaritas umat bisa sirna.

Maka, “mereka” jenis kedua ini akan menggunakan segala macam lembaga yang ada di tangan mereka untuk merancang “software” yang bisa melemahkan semangat juang umat. “Mereka” juga menggunakan para pendukung intelektual untuk disebar ke segenap penjuru media kaki-tangan, untuk “menertawakan” aksi Reuni 212. Mereka bermunculan di layar kaca TV-TV pembebek dengan komentar-komentar yang intinya “membodohkan” umat yang berkumpul di Jakarta. Barisan “mereka” di medsos pun melancarkan gempuran sinistis terhadap reuni.

Dan, TV-TV pembebek pun memahami keinginan “mereka”. Stasiun-stasiun anti-umat itu tidak menampilkan aksi reuni sebagai berita. Atau, setidaknya mereka sengaja mengecilkan peristiwa itu dalam pemberitaan.

Intinya, “mereka” panik. Panik melihat tekad dan semangat baja yang, ternyata, tidak surut di kalangan umat. Panik karena instink paranoid “mereka” mengatakan bahwa aksi-aksi reuni semacam 212 mengindikasikan bahwa persatuan umat telah teruji.

Mereka panik karena mereka telah terlanjur merancang dan mengimplementasikan langkah-langkah politik yang menempatkan umat Islam sebagai musuh mereka. Sesuatu yang sangat keliru. Keliru besar. Padahal, umat ini tidak bermaksud memusuhi mereka sepanjang mereka tidak memusuhi umat.

Setelah Reuni 212, hampir pasti kalkulator dan sempoa politik “mereka” menghasilkan hitungan yang membuat perasaan menjadi tak enak. Sebab, tahun politik tidak jauh lagi.

Kalau umat bisa menjaga momentum persatuan seperti yang tampak sekarang ini, berarti ada ancaman nyata terhadap eksistensi kekuasaan “mereka”.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #aksi-212  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
RAMADHAN 2025 H ABDUL WACHID
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
RAMADHAN 2025 M HAEKAL
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Impor Gula vs Penghuni Usus

Oleh Cak AT (Ahmadie Thaha)
pada hari Selasa, 11 Mar 2025
Ah, gula. Barang yang selalu dibela mati-matian oleh pemerintah, seolah-olah negeri ini tak bisa hidup tanpanya. Terbukti, meskipun dulu berjanji hendak mencapai swasembada, toh pemerintah tetap ...
Opini

Rantai Korupsi Tambang Nikel

Indonesia punya segalanya: kekayaan alam melimpah, tenaga kerja murah, dan, tentu saja, kreativitas tanpa batas dalam urusan korupsi. Ambil contoh nikel. Tahun 2023, kita memproduksi 21 juta ton ...