JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) DPR menyesalkan sikap pemerintah yang tidak kooperatif dalam pembahasan aturan krusial di RUU tersebut.
Anggota Pansus RUU Minol dari Fraksi PKS, Fikri Faqih mengatakan, saat ini masyarakat menanti lahirnya UU Minol yang telah dirancang DPR sejak tahun 2009 silam.
"Pansus RUU Minol ini mengalami hambatan karena pihak eksekutif (pemerintah), beberapa kali tidak bisa hadir dalam rapat dengan Pansus RUU Minol di DPR,"kata Fikri Faqih saat dihubungi, Senin (22/1/2018).
Ia pun menegaskan, Fraksi PKS tidak pernah menyetujui miras dijual bebas di warung atau di minimarket.
Hal itu diutarakan Fikri menanggapi adanya isu beberapa Fraksi di DPR setuju dengan peredaran minuman beralkohol dijual di warung-warung.
"Di Pansus RUU Minol, Fraksi PKS komitmen dan konsisten tidak pernah menyetujui miras dijual bebas di warung atau minimarket. Dalam draf pembahasan terakhir, bahkan semua fraksi menyetujui pembatasan distribusi miras," terangnya.
Ditambahkannya, dalam RUU tersebut juga ditegaskan adanya syarat dan izin untuk menjual miras.Seperti, harus jauh dari lingkungan pendidikan, tempat ibadah, dan fasilitas publik lainnya.
Juga untuk pembeli, ungkap dia, ada syarat mengenai umur, status kewarganegaraan, bahkan agama yang hingga kini masih didiskusikan.
"Karena penjualan etanol sebagai minuman termasuk pengecualian. Tapi, secara umum dilarang," tuturnya.
Dari sisi nomenklatur, hingga saat ini masih terjadi perdebatan antar fraksi. Fraksi PKS, bersama PAN dan PPP, tegas Fikri Faqih, masih mempertahankan penggunaan kata larangan dalam judul RUU tersebut, yaitu RUU Larangan Minuman Beralkohol.
Meskipun demikian, lanjutWakil Ketua Komisi X DPR ini,dalam perkembangan pembahasan, terdapat titik temu jalan keluar antar fraksi, yaitu semua sepakat ada substansi larangan dalam batang tubuh di RUU tersebut.
"Judul RUU bisa dibuat lebih netral, yakni tanpa menyebut perintah tapi hanya menyebut obyeknya saja seperti UU tentang Narkotika. Tentang hal ini masih dalam proses pembahasan. Jadi belum final," jelasnya.
Dari sisi pembatasan, pengawasan, industri, dan mekanisme peredarannya, sebagian sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Seperti, UU tentang Bea Cukai, tentang Makanan dan Obat, serta tentang Kesehatan.
"Lebih teknis tentu harus diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan di bawah UU ini," pungkasnya.(yn)