JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Persidangan kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik kembali berlanjut, kali ini agenda sidang adalah mendengarkan keterangan saksi. Salah satu saksi yang dihadirkan adalah mantan Country Manager HP Enterprise Services, Charles Sutanto Ekapradja.
Charles mengatakan saat sidang menyebut kasus dugaan korupsi KTP elektronik melibatkan banyak partai politik. Ia mengaku mendapatkan informasi ada bahasa kode menyebut bahwa proyek tersebut 'bancakan' partai merah, partai kuning dan partai biru.
Dalam persidangan, jaksa KPK menanyakan maksud dari warna masing-masing partai itu. Menurut Charles, kuning melambangkan Partai Golkar. Sementara, merah melambangkan PDI Perjuangan, dan biru maksudnya Partai Demokrat. Istilah partai politik yang dilambangkan dengan warna itu sudah pernah dicantumkan jaksa KPK dalam surat dakwaan terhadap dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.
Ketiga partai tersebut disebut mendapat jatah cukup besar dalam proyek e-KTP. Partai Golkar diduga diwakili oleh Setya Novanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar. Sementara, Partai Demokratsebagai partai dengan kursi terbanyak di DPR direpresentasikan oleh Muhammad Nazaruddin dan Anas Urbaningrum.
Di hadapan majelis hakim, Charles juga mengaku pertemuan pertama dirinya diajak oleh pengusaha Made Oka Masagung ke rumah Setya Novanto di kediamanSetya Novanto,Jalan Wijaya, Jakarta Selatan.
"Pertemuan pertama itu pas magrib, saya ikut mobil Pak Made Oka ke rumah terdakwa (Setya Novanto). Disana saya ditanya punya keahlian apa. Lalu Pak Made Oka dan Pak Setya Novanto ngobrol pindah ruangan. Saya tidak tahu mereka bicara apa. Lalu saya diajak pulang, saya tanya Pak Made Oka soal pertemuan, dia jawab ikuti saja prosesnya," ujar Charles.
Pertemuan kedua, lagi-lagi Made Oka mengajak Charles untuk makan siang di sebuah ruangan besar atas di Gedung DPR atas undangan Setya Novanto. Disana turut hadir pula tamu-tamu undangan yang lain. Lanjut pertemuan ketiga, Charles diminta hadir ke rumah Setya Novanto. Saat itu sudah pukul 21.00 WIB, setibanya di rumah Setya Novanto, Charles ditanya soal biaya kartu penduduk elektronik.
Dia menjawab biaya yang dibutuhkan sekitar 2,5 sampai 3 dolar AS per id. Lalu dia juga ditanya apakah bisa menggunakan chip dari negara lain. Charles menjelaskan itu menjadi pertemuan terakhirnya dengan Setya Novanto. Sebab kerja sama antara HP dan Setya Novanto dalam pengadaan perangkat lunak dalam proyek tersebut gagal berlanjut.
"Nggak dapat proyek. Tidak jadi kesepakatan harga dengan perusahaan Pak Marliem," tegasnya.
Masih menurut penuturan Charles, semuanya bermula saat tahun 2010 ketika dirinya ditelepon Direktur Biomorf Lone LLC, Johannes Marliem terkait kerja sama HP dalam proyek pembuatan identitas berbasis elektronik di Indonesia.
Charles kala itu bekerja sebagai Country Manager HP Enterprise Services. Charles meminta waktu untuk melakukan pengecekan apakah benar ada kerja sama itu. Sebab setahu dia ada proyek serupa di tahun 1990-2000an namun tidak berjalan.
Karena tidak ada kejelasan informasi, dia lantas menghubungi rekannya Made Oka Masagung. "Saya telepon teman, saya pikir punya info tersebut. Yaitu Made Oka. Saya tanya beliau tahu nggak ada proyek ini. Kalau boleh dikenalin," ujarnya.
Sekitar sebulan kemudian, Made Oka meneleponnya dan meminta untuk datang ke kantornya di Jakarta. "Saya datang ke kantornya disuruh ikut pakai mobil dia, diajak ke rumah Pak Novanto. Itu awal mulanya sampai ada pertemuan ketiga," kata Charles.
Ditegur Hakim
Mantan Komisaris PT Gunung Agung, Made Oka Masagung ditegur oleh Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum pada KPK karena sering menjawab lupa dan tidak tahu. Salah satunya, saat ditanya soal asal uang yang masuk ke rekening perusahaannya di Singapura.
Semula, ia dikonfirmasi oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penerimaan uang sebanyak 1,8 juta dolar AS dari Biomorf Mauritius, milik Johannes Marliem. Dia mengaku tidak mengetahui sumber pengirim uang tersebut.
"Apakah anda pernah transaksi dengan Biomorf Mauritius?" tanya Jaksa Penuntut Umum Ariawan Agustiarto kepada Made Oka.
"Ada pengiriman, saya baru tahu dari penyidik (Biomorf Mauritius sebagai pengirim) sebesar 1.799.842 dolar AS," jawab Made Oka.
Lalu Jaksa menanyakan perihal keberadaaan uang tersebut karena Made Oka langsung melakukan tarik tunai seluruhnya keesokan harinya. Namun Made Oka beralasan uang itu diberikan ke beberapa pihak, di antaranya ke Muda Ihsan Harahap, anak Made Oka, PT OEM Investment, dan diperuntukan investasi Made Oka.
Jaksa juga mempertanyakan urusan jual beli saham dengan Dirut PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudiharja. Ia hanya mengatakan, seingatnya menerima uang 2 juta dollar yang masuk ke perusahaannya Delta Energy di Singapura.
Saat ditanya kemana uang itu saat ini, Oka mengaku sudah lupa. "Saya lupa makanya saya minta tolong penyidik. Saya kasih semua data dan surat kuasa karena saya sudah tidak bisa akses lagi sudah ditutup semua rekeningnya," tegas Made Oka.
Selanjutnya ketua majelis hakim, Yanto menanyakan soal rekening Made Oka yang ditutup. Menurut Made Oka, rekeningnya ditutup dengan sendirinya oleh bank.
"Bisa bank menutup tanpa permintaan yang punya?," tanya hakim Yanto kepada Made Oka.
"Betul," jawab Made Oka.
Keterangan Oka pun semakin diragukan keterangannya oleh hakim. Pasalnya, pasca ditutup, Made Oka tidak pernah menanyakan alasan penutupan kepada bank.
"Inilah yang aneh, saudara diberi tahu bank rekening ditutup tapi saudara enggak pernah nanya ke bank kenapa ditutup ini kan aneh toh," papar Hakim Yanto.
Lantaran sering kali ditegur, akhirnya Made Oka mengaku belakangan ingatannya buruk karena dia pernah menderita stroke dan dirawat di RSPAD. Menurutnya, dia mampu mengingat peristiwa 30-40 tahun lalu, sementara peristiwa baru-baru ini, dia tidak ingat.
"Saya kena stroke tahun 1990, terakhir dua atau tiga bulan lalu saya kena juga. Sejak itu pelupa. Makanya saya jual perusahaan. Sekarang saya pensiun, semenjak sakit itu memori saya sudah jelek. Dokter yang katakan itu," kata dia. (aim)