JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Tokoh reformasi, Amien Raismeluncurkan buku yang disebutnya sebagai kritik terhadap program Revolusi Mentalyang sempat digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Buku setebal 76 halaman itu diberi judul'Hijrah: Selamat Tinggal Revolusi Mental, Selamat Datang Revolusi Moral'.
Peluncuran buku tersebut digelardi Jalan Daksa I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (11/1/2019) kemarin.
Ketua Dewan Kehormatan PAN itu menyebut, hingga 4 tahun berkuasa, tidak ada dokumen autentik untuk Revolusi Mental dari Jokowi karena tidak ada dokumen otoritatif dari pemerintah.
Sehingga, menurut Amien, 'Revolusi Mental Jokowi' tidak jelas dan tidak ada dokumen autentik yang sebetulnya.
Amien menyebut mental sebagai sebuah sikap yang muncul dari suasana batin kejiwaan seseorang, sedangkan moral adalah kemampuan seseorang membedakan suatu hal yang baik dan buruk.
Selain berisi tentang revolusi moral, dalam buku ini, peran dan perilaku pers di Indonesia juga tak luput dari sorotan kritis Amien.
Amien yang membidani era reformasi di Tanah Air, menilai kebebasanpers khususnya mayoritas media mainstream belakangan malah menyimpang dari cita-cita awal sebagaimanayang diperjuangkan para aktivis, jurnalis dan mahasiswa saat demo besar-besaran menuntut reformasi pada 1998 silam.
Amien mengaku, kondisi pers nasional sudah menyimpang dan mengkhawatirkan, meskipun usia reformasi telah mamasuki 20 tahun.
Bahkan, Amien menyebut nasib beberapa mediamainstream kini sudah kehilangan kepercayaan publik, baik itu media televisi, koran, online, majalah, dan radio.
Berikut catatan dan imbauan Amie Rais untuk pelaku pers Indonesia, yang terdapat di halaman 67:
Imbauan untuk Media
Dalam beberapa tahun terakhir ini saya perhatikan telah terjadi pergeseran penting di tengah masyarakat kita yang berupa makin mencuatnya media sosial sebagai sumber informasi di satu pihak dan makin lemahnya media massa, baik cetak maupun elektronik, di lain pihak.
Salah satu sebab merosotnya peran media massa, termasuk yang tergolong mainstream, adalah karena kepercayaanmasyarakat makin pudar dan lemah terhadap media mainstream itu, baik itu berupa koran, majalah, televisi dan radio.
Mengapa?
Kemungkinan besar media massa kita memang sudah tidak lagi menjadi pilar ke-4 demokrasi, disamping pilar-pilar legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di berbagai negara yang menganut demokrasi, masyarakat banyak mengharap agar media massa bisa menjadi watch dog, katakanlah, sebagai anjing pengawasyang mengawasi perilaku eksekutif yang semakin tidak transparan, semakin jauh dari kepentingan rakyat, sementara fungsi legislatif dan yudikatif sudah melempem akibat subordinasi keduanya di bawah kekuasaan dan keperkasaan pemerintahatau eksekutif.
Di negara kita merosotnya media massa sebagai pilar ke-4 demokrasi nampak telah terjadi. Sebagian besar sudah menjadi corong penguasa dan tanpa disadari telah menjadi kolaborator kekuasaan yang menyedihkan. Bila masyarakat berpalingke media mainstream, yang ditemukan hanyalah pujian, persetujuan dan dukungan apa saja yang dikerjakan oleh penguasa.Media massa mainstream telah menjadi guard dog, anjing penjaga kepentingan penguasa.
Contoh spektakular bagaimana semua media mainstream sudah mengingkari jati-diri dan peranan yang harus dimainkan sebagai salah satu pilar demokrasi adalah apa yang terjadi pada 2 Desember tahun lalu.
Reuni akbar PA 212 yang diikuti oleh jutaan orang, sebagai kekuatan moral keagamaan, yang gaungnya sampai ke Malaysia, Turki dan Prancis, dan diliput oleh CNN, Al-Jazeera, BBC, justru di blacked-out oleh media baik cetak maupun elektronik dalam negeri. Karena itu media massa Indonesia tidak layak lagi disebut sebagai sesuatu yang mainstream. Untung masih ada TV One.
Rocky Gerung sangat tepat ketika berpendapat bahwa media massa Indonesia (yang bukan lagi mainstream, pen) telah menggelapkan peristiwa sejarah yang sangat penting di ujung akhir tahun 2018. Media massa Indonesia sudah tidak lagi jujur pada rakyat, dan tidak jujur pada dirinya sendiri.
Kalau pun meliput, cara dan isi liputannya sangat licik, penuh dengan distorsi dan memperbodoh diri sendiri. Penguasaan penguasa pada media massa memang mengherankan, hampir berhasil total.
Malcolm X, seorang pejuang HAM di Amerika pada abad lalu, pernah mengatakan betapa digdayanya media waktu itu. Ia mengatakan: “The media’s the most powerful entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control the minds of the masses.” (Media adalah entitas paling kuat di muka bumi. Mereka dapat menjadikan yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar dan itulah kekuasaan/kekuatan.Karena mereka menguasai pikiran massa). Itu dulu. Sekarang alhamdulillah tidak lagi, berkat medsos sebagai alternatif media yang sudah lupa pada misinya.
Sekalipun media massa sudah turun pamor dan pengaruhnya di tengah masyarakat, namun sebagai alat perusak pikiran masyarakat luas tetap saja masih berbahaya.
Di atas telah disebutkan betapa media bisa menjadi bagian dari Industri kebohongan bersama politisi busuk, LSM busuk, kelompok kepentingan busuk, aparat busuk dan berbagai lembaga atau perorangan yang menyiarkan kebohongan dan kepalsuan serta membenamkan kebenaran. Jangan pernah lupa, semua dilakukan untuk mengejar cuilan-cuilan keduniaan yang berupa uang, jabatan atau keduniaan yang lain.
Dalam literatur jurnalisme, dikenal dan dikenang sebuah peristiwa menarik betapa para jurnalis memang menghadapi tantangan yang sangat berat. Mereka dipaksa sujud di kaki mammon. Mammon adalah dewa pembagi kenikmatan dan kelezatan dunia. Salah satu ajaran gerejani berbunyi: “you cannot serve both God and mammon” (Engkau tidak bisa menyembah Tuhan dan mammon bersama-sama).
Demikian juga Al-Qur’an lebih tegas lagi. Seorang manusia tergolong musyrik takkala dia menduakan Allah SWT. Tidak mungkin orang beriman berserah diri pada Allah SWT, tetapi juga menyembah uang, jabatan, kekuasaan dlsb.
Nah, sebuah peristiwa menarik terjadi dalam sejarah jurnalisme modern di Amerika di tahun 1880-an. Suatu malam para jurnalis di New York berkumpul di sebuah hotel merayakan hari kemerdekaan pers (independent press).
Tamu kehormatan malam itu bernama John Swinton, jurnalis ulung yang bekerja untuk The New York Times dan The New York City. Ketika diminta bersulang, Mr. Swinton menolak dan meledakkan kemarahannya di depan tetamu yang hadir. Ia merusak dan membuat berantakan acara yang sudah disusun dengan rapih.
Dia mengatakan waktu itu tidak ada sama sekali pers bebas di Amerika saat itu. Anda tahu itu dan saya tahu itu. Bila kita menulis opini yang jujur, kita tahu persis opini kita tidak bakal dimuat. Kita dibayar secara mingguan sesungguhnya untuk melaporkan berita yang tidak benar.
Kita seumur hidup bergantung pada bayaran dari atasan kita. Kalau sampai kita bertindak bodoh, membuat berita secara jujur, kita tahu esok harinya kita harus cari pekerjaan di tempat lain, karena kita sudah langsung dipecat dari perusahaan kita. Biasanya kurang dari 24 jam kita langsung jadi pengangguran.
Mr. Swinton mengatakan: “Bisnis kaum jurnalis adalah menghancurkan kebenaran, berbohong secara lugas, menyelewengkan fakta, membungkus kebohongan, menjilat kaki mammon, menjual negara dan bangsa demi sepotong roti. Anda tahu itu, saya tahu itu. Kebodohan macam apa yang sedang kita lakukan sampai harus bersulang segala untuk merayakan pers bebas?
Kita alat dan kacung orang-orang kaya yang ada di balik layar. Kita bagaikan peloncat bayaran yang melompat-lompat sesuai tabuh dan gendang mereka. Bakat kita, kemampuan kita, bahkan seluruh kehidupan kita sudah menjadi milik oranglain. Kita semua telah menjadi pelacur intelektual. “We are intellectual prostitutes”. Itulah yang dipidatokan Mr. Swinton yang sampai kini dikenang orang.
Kita semua yakin para wartawan kita, para redaktur dan editor media massa kita tidak akan pernah melakukan apa yang digambarkan oleh John Swinton di atas. Na’udzubillah.
Semoga media massa kita, baik cetak dan elektronik, dapat berdiri tegak kembali, jangan tertipu oleh iming-iming sekian triliun akan diberikan untuk ini dan untuk itu. Percayalah, semua itu fatamorgana yang dapat menjerumuskan kita. Yang kita hadapi adalah pembohong-pembohong profesional. (Alf)