JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Kurang dari satu bulan lagi, Pemilu 2019 untuk pertama kalinya akan digelar secara serentak, yakni memilih presiden dan wakil presiden sekaligus anggota legislatif baru.
Namun, posisi petahana Jokowi yang hingga kini tidak cuti membuat sebagian kalangan khawatir pelaksanaan Pilpres tidak berjalan netral. Mantan Gubernur DKI itu dipandangberpotensi menggunakan struktur kekuasaan dan birokrasi sebagai mesin politik, demi mendulang perolehan suara pada 17 April mendatang.
Merespon hal ini, mantan Wakil Gubenur DKI periode 2007-2012, Prijanto mengaku mafhum terhadap pandangan tersebut.
"Hari gini, zaman edan, perlu saya tekankan, bahwa jawaban saya ini dalam perspektif ilmu politik dan nalar. Tidak ada tuduhan sama sekali," ucap Prijanto seakan berhati-hati, sebelum melanjutkan pernyataannya.
Dia menilai, soal kekhawatiran calon petahana akan menyalahgunakan wewenang merupakan hal yang biasa muncul di setiap kontestasi pemilu. Sebab, petahana selain sebagai Presiden juga sebagai Capres yang hendak kembali merebut kursi Presiden periode selanjutnya.
Namun, dikatakan Prijanto, dalam pemilu memanfaatkan struktur kekuasaan oleh calon petahana bukan sesuatu yang baru, dan itu lazim terjadi bahkan di banyak negara.
Hal tersebut, menurut dia, hanyalah salah satu bagian dari strategi atau cara memenangkan sebuah kontestasi pemilu.
"Penggunaan struktur dalam pemilu itu bagian strategi dalam Ilmu politik di mana saja. Artinya, itu bukan warisan khusus dari rezim tertentu. Siapapun bisa menggunakan strategi itu, baik oleh petahana atau juga oposisi," kata Prijanto saat berbincang dengan TeropongSenayan, Jakarta, Jumat (22/3/2019) malam.
"Jadi, jika saat ini andaikan ada yang menggunakan strategi itu, janganlah bilang itu warisan rezim terdahulu. Karena sejak dulu sudah ada dan bisa terjadi di negera mana saja," terang dia.
Namun demikian, Prijanto menjelaskan, bahwa strategi tersebut bukan jaminan untuk meraih kemenangan. Mengingat, tidak sedikit kekuatan politik yang menggunakan kekuatan struktur tetapi akhirnya kalah.
"Bahkan, di kita juga pernah dan kalah. Kemudian muncul pertanyaan; Lho... mengapa bisa terjadi, padahal sudah menggunakan kekuatan struktur kekuasaan? Jawabannya, karena rakyat sudah tidak bisa dibodohi!," tegas Prijanto.
Sebagai ilustrasi untuk perpolitikan di Indonesia, Prijanto mengibaratkan, andaikan ada kekuatan yang sedang bersaing dalam pemilu, mau menggunakan perangkat Menteri sampai Lurah, mau menggunakan tentara, polisi, ormas dan dunia usaha, rakyat juga sudah tahu hasil kerja petahana ataupun karakter, kapasitas, kapabilitas, kredibilitas, kepemimpinan (5 K) dari mereka yg berkompetisi.
"Hal ini yang tidak mungkin bisa dibendung. Akhirnya, kesejahteraan dan keadilan dambaan rakyatlah yang akan menentukan di bilik suara TPS," jelas dia.
Prijanto menambahkan, dirinya juga tak mengelak bahwa di era Orde Baru penggunaaan struktur kekuasaan terhitung sukses.
"Tapi, mereka menang, karena rakyat waktu itu "inggih-inggih", karena memang merasakan hasilnya saat itu enak. Tukang becak selesai ngayuh becaknya langsung bisa nangkring makan enak. Coba saja, jika di kala itu rakyat hidup susah. Lurah bilang A B C.. Bisa jadi rakyat akan menjawab; huuuu preet," ucap Prijanto berseloroh.
Dengan demikian, Prijanto menegaskan, bahwa rumus dalam general election, petahana yang karakternya tidak disukai rakyat dan miskin hasil kerja, maka penggunaan kekuatan struktur di negera mana saja, tidak akan ada artinya.
"Jadi, masyarakat tidak perlu risau. Karena penggunaan kekuatan struktur bukan sebuah jaminan. Tetapi kesejahteraan dan keadilan yang dirasakan rakyat itulah kekuatan sejatinya," papar dia.
Sebaliknya, sambung Prijanto, apabila karakter dan hasil kerja seorang petahana itu baik, sesungguhnya, tanpa menggunakan kekuatan struktur 50% plus suara dukungan pasti sudah diperoleh.
Selain kekuatan struktur, Prijanto melanjutkan, dalam kompetisi Pilpres, efek sembako juga tidak akan bisa melawan atau mengalahkan perasaan dan penilain rakyat terhadap hasil kerja dan karakter, kapasitas, kapabilitas, kredibilitas dan kepemimpinan baik petahana ataupun Capres dari oposisi.
"Nah, apakah hasil-hasil litbang dan survei menguatkan argumentasi/pendapat tersebut? Kita tunggu dengan sabar 17 April nanti," Mayjen (Purn) TNI itu menambahkan. (Alf)