Opini
Oleh Ken Bimo Sultoni (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Diponegoro, aktivis HMI Cabang Semarang) pada hari Sabtu, 10 Agu 2019 - 21:30:00 WIB
Bagikan Berita ini :

Mendatangkan Rektor Asing Bukan Solusi Tepat

tscom_news_photo_1565446011.jpg
Ken Bimo Sultoni (Sumber foto : Ist)

Wacanaperekrutan rektor asing pada tahun 2020 nanti, baru- baru ini menimbulkan banyak pro kontra di kalangan masyarakat, khususnya para akademisi. Hal ini didasari pada Keputusan Menteri Kemenristekdkti Muh. Natsir untuk melakukan perekrutan rektor asing sebagai bagian dari peningkatan mutu kualitas pendidikan perguruan tinggi di Indonesia.

Hal ini sangat menarik untuk dijadikan kajian, terutama dalam situasi dan kondisi yang sedang dialami negara ini terkait urgensi persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam suatu kesempatan saat diwawancari oleh salah satu media nasional, Menristekdikti Muh. Natsir menyampaikan, bahwa keputusan ini diambil berdasarkan pada kurangnya kemampuan rektor di Indonesia untuk dapat mengangkat kualitas perguruan tinggi ke kelas dunia. Oleh karenanya Muh. Natsir berpendapat bahwa solusi yang bisa jadi menangani permasalahan ini yaitu dengan cara mendatangkan rektor asing yang lebih unggul dalam beberapa aspek, diantaranya adalah jejaring komunitas peneliti luar negeri, berpengalaman mengelola perguruan tinggi dan mempunyai inovasi untuk meningkatkan mutu riset.

Pada kesempatan lainnya, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (pur) Moeldoko mengatakan, presiden menyetujui rencana merekrut rektor dari luar negeri di beberapa kampus Indonesia. Tentu bukan tanpa alasan pula mengapa dalam hal ini Presiden Jokowi memberikan lampu hijau terkait dengan keputusan itu. Yang notabene dirasakan pula olehnya bahwa peringkat perguruan tinggi di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara-negara lain.

Keresahan akan rendahnya kualitas perguruan tinggi di Indonesia untuk dapat bersaing dalam kancah internasional menjadi topik utama yang diinginkan Presiden Jokowidodo untuk dapat segera diselesaikan.

Dunia akademis apabila kita mengacu pada standar penilaianQS World University Ranking(QS-WUR) yang selama ini dijadikan acuan kemenristekdikti, PT Indonesia seharusnya dapat berada pada jajaran ranking yang sama seperti halnya yang didapat olehNational University of Singapore(NUS) danNanyang Technological University (NTU) diposisi 20 besar atau diperingkat 100 besar seperti yang diraih Universiti Malaysia (UM).

Nyatanya, hingga kini belum ada PT di Indonesia yang dapat meraih tingkat seperti itu, sejauh ini baru ada 3 universitas di Indonesia yang dapat menorehkan namanya pada satndar penilaian QS-WUR dan itu pun masih di jajaran 500 besar, masing masing diarih UI (296), UGM(320) dan ITB(331).

Seperti yang jamak kita ketahui bahwa minat mahasiswa Indonesia untuk dapat berkuliah diluar negeri lebih tinggi dibandingkan harus kuliah didalam negeri. Hal ini didasari pada asumsi bahwa kualitas perguruan tinggi dalam negeri belum terlalu mumpuni apabila dibandingkan dengan kualitas perguruan tinggi di negara lain.

Dan hal ini seperti mau tak mau memaksa para pemangku jabatan di negeri ini memutar otak agar dapat menyetarakan kualitas PT yang ada. Contoh nyata yang ada adalah beberapa keberhasilan perguruan tinggi di luar negeri, sepertiNanyang Technological University(NTU) yang didirikan pada 1981, kampus ini bisa masuk 50 besar dunia dalam waktu 38 tahun setelah dipimpin rektor dan sebagian dosen dari Amerika Serikat. Tentu keberhasilan itu memantik minat para pemimpin bangsa ini untuk mencontoh hal itu.

Akan tetapi, apakah rencana pendatangan rektor asing ke Indonesia menjadi solusi kongkrit dalam pembenahan sistem dan peningkatan kualitas perguruan tinggi di Indonesia?

Cukup menarik apabila kita mencoba menganalogikan permasalahan ini dalam konsep kemasyarakatan yang bukan hanya menjadi keresahan para akademisi, akan tetapi masayarakat secara umum. Contohnya adalah Sepakbola.

Sepakbola di negeri ini menjadi salah satu olaharaga paling populer yang banyak diminati oleh seluruh kalangan masyarkat di Indonesia tanpa terkecuali, sama seperti layaknya antusisasme masyarakat Indonesia untuk dapat masuk perguruan tinggi populer yang ada.

Kesenangan masyarakat Indonesia terhadap olahraga ini mungkin saja dapat disandingkan dengan negara-negara yang juga terkenal sebagai negara sepakabola seperti Brazil, Argentina ataupun italia.

PSSI selaku lembaga resmi yang menaungi olahraga sepakbola di Indonesiai seringkali membuat banyak gebrakan untuk dapat membawa nama sepakbola Indonesia agar dikenal di mata dunia, diantaranya adalah dengan cara mendatangkan pelatih asing, menaturalisasi para pemain hingga meningkatkan fasilitas pendukung untuk menunjang kebutuhan para pemain. Toh hal juga itu ternyata belum cukup untuk dapat membawa nama Indonesia cemerlang di mata dunia sepakbola internasional.

Permasalahan yang ada ini tentu menjadi keresahan yang hampir sama apabila kita membandingkannya dengan pro kontra terkait rencana perekrutan rektor asing. Karena layaknya pelatih asing yang ditunjuk oleh PSSI tadi, seorang rektor mempunyai kendali penuh atas universitas yang ia pimpin.

Di dunia sepakbola Indonesia sendiri, PSSI pernah membuat suatu gebrakan yang mugkin saja menjadi salah satu program berpengaruh yang pernah dilakukan oleh PSSI saat itu, yaitu program PSSI Primavera dan Baretti di tahun 1993 sampai 1996. PSSI Primavera dan Baretti adalah sebuah program yang dilakukan PSSI dengan cara mengirim para pemain muda berbakat Indonesia untuk dapat berlatih sepak bola di Italia dengan tujuan untuk mengembangkan keahlian masing-masing pemainnya.

Hasil dari program itupun juga dapat dikatakan cukup membanggakan meskipun belum dapat mendulang keberhasilan yang signifikan. Hampir semua pemain PSSI Primavera menjadi tulang punggung di klubnya masing-masing. Bahkan Kurniawan Dwi Yulianto, Kurnia Sandy dan Bima Sakti sukses masuk ke dalam skuat Sampdoria pada saat itu. Bahkan beberapa nama tadi masih tetap eksis di dunia sepakbola Indonesia hingga saat ini.

Strategi ini seharusnya juga dapat dilakukan dalam dunia akademisi di Indonesia, masih banyak putra-putri bangsa Indonesia yang cemerlang dan berpotensi untuk dapat memimpin civitas akademika tanpa harus mendatangkan rektor asing. Investasi dalam bentuk pelatihan dan juga peningkatan anggaran dalam dunia akademis juga dirasa perlu untuk bisa membangun basis ekosistem kampus yang lebih baik.

Salah satunya seperti yang diungkapkan guru besar Unair Prof Kacung Marijan. Menurutnya, rektor memang salah satu hal penting dari keseluruhan sistem pengelolaan PT. Namun, ada yang lebih penting dari itu. Yakni, pengelolaan ekosistem di dalam PT.

“Yang penting ekosistemnya dulu. Kalau ekosistem sudah bagus, baru memungkinkan untuk berkompetisi dengan yang lainnya,” kata Kacung. Contoh mudahnya adalah seperti apabila kita ingin memelihara ikan Koi meski kita mendatangkan perawat atau peternak paling ahli sekalipun apabila ekosistem yang ada belum mendukung, pastinya Ikan Koi tersebut akan tetap mati dan begitu pula sebaliknya.

Disisi lain, menurut Prof. Joni Hermana Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya (periode 2015-2019) yang dikutip dari Jawa Pos menyampaikan bahwa QS-WUR mengukur 2 aspek utama dengan bobot masing-masing kriteria adalah 50 persen, yaitu: (a). 50 persen untuk International Faculty, International Student, Citation per Faculty, Faculty/Student Ratio, dan (b) 50 persen untuk Employer Reputation, Academic Reputation. Lalu, mari kita bandingkan skor kriteria antara UI yang mempunyai ranking terbaik dari Indonesia (296) dengan UM yang terbaik dari Malaysia (70).

Dalam hal ini, apabila dilihat dari skor yang diperoleh untuk setiap kriteria penilaian di atas, ternyata UI justru unggul diInternational Facultydaripada UM (skor 94.5 vs 62.8), artinya jumlah pengajar asing di UI lebih banyak dibandingkan dengan dosen asing di UM. Toh, nyatanya kehadiran pengajar asing tidak serta merta mendongkrak UI menjadi lebih unggul levelnya daripada UM. Jadi, apakah memang pengajar asing itu lebih baik dari pengajar kita?

Sementara itu, semua skor kriteria lainnya, seluruh nilai UM lebih unggul daripada UI, bahkan ada dua kriteria yang sangat jauh sekali bedanya. Misalnya untuk jumlah sitasi per dosen (skor 41,5 vs 1,9) dan jumlah mahasiswa asing (skor 57,2 vs 5,0). Dari data Kemenristekdikti tahun 2017 misalnya, 3 PTN yang masuk dalam ranking 500 besar dunia, ternyata hanya disupport dana internasionalisasi dari APBN sebesar, USD 0.006B atau tidak lebih dari Rp 87 milar saja.

Bandingkan dengan pemerintah Malaysia yang telah berhasil memasukkan 6 PT-nya masuk dalam ranking 500 besar dunia, menyuntik dana sebesar USD 1.5B atau Rp 21,75 triliun. Jangan dikata untuk Singapura yang telah menggelontorkan dana sebesar USD 4.0B atau sekitar Rp 58 trilun.

Pemaparan dari Prof. Joni diatas pastinya menggelitik untuk dapat dijadikan sumber pembanding terkait rencana perekrutan Rektor asing ini. Terlebih lagi ternyata bukti yang ada memaparkan bahwa jumlah dosen asing tidak serta merta mempengaruhi tingkat kualitas dari PT untuk dapat naik dalam penilai QS-WUR dan malah sebaliknya, dengan jumlah dana anggaran yang terbatas pun ternyata PT di Indonesia dapat masuk dalam kategori penilaian QS-WUR meski hanya menempati pada ranking 500 besar.

Selain aspek teknis yang harus dipenuhi untuk dapat bersaing dalam kancah dunia internasional, terdapat aspek lain yang menjadi tanggungan moral bagaimana pendidikan bangsa ini berguna bagi kemaslahatan rakyat banyak. Dan apabila merunut pada pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang merupakan perwujudan visi dari para pendiri bangsa. Terdapat kutipan untuk dapat “mencerdaskan kehidupan bangsa” , yang dalam hal ini merupakan suatu tujuan yang bersifat nasional dan bermaksud membangkitkan jati diri kebangsaan rakyat Indonesia secara mandiri.

Dan pastinya hal tersebut akan bernilai kontradiktif apabila rencana perekrutan rektor asing ini menjadi kenyataan. Karena filosofi mencerdaskan kehidupan bangsa yang dimaksud bukan hanya sekedar mencapai kualitas terbaik secara ranking semata, akan tetapi bertujuan agar semangat nasionalisme muncul dan negara hadir untuk ikut bertanggung jawab akan hal itu. Dan bukan malah bersikap seperti layaknya berpangku tangan dengan situasi yang ada dengan cara menyerahkan permasalahan kualitas pendidikan nasional kepada warga dari negara lain.

Sehingga kembali kepada pertanyaan diawal, apakah rencana pendatangan rektor asing ke Indonesia menjadi solusi kongkrit dalam pembenahan sistem dan peningkatan kualitas perguruan tinggi di Indonesia? (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #kemenristekdikti  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...