JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Dugaan Menteri BUMN Erick Thohir pada April lalu soal adanya mafia alat kesehatan di tingkat global terungkap setelah investigasi Internasional Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) berkolaborasi dengan majalah Tempo membuktikan banjirnya alat-alat test Covid-19 yang sangat tidak layak tingkat akurasinya.
Sertifikat validasi Biozek yang diklaim produsen alat tersebut, Inzek International Trading BV, ternyata persis sama dengan sertifikasi sebuah perusahaan di Cina: Hangzhou AllTest Biotech Co Ltd. Padahal, di situs perusahaannya dan dalam rilis yang disebarkan ke media massa, Inzek mengklaim Biozek sebagai produk Belanda. Tak hanya asal produknya yang dipalsukan, keabsahan alat tes ini juga tak seperti yang dijanjikan. Dua riset independen di Inggris dan Spanyol menemukan bahwa klaim akurasi di atas 90 persen dari alat uji ini ternyata tak terbukti.
Hal itu disampaikan aktivis sekaligus ketua umum Pusat Informasi dan Jaringan Aksi Reformasi (PIJAR) 98, Sulaiman Haikal. Dalam keterangan tertulis, Ahad (10/5), Sulaiman mengatakan mampir semua alat rapid test Covid-19 yang diimpor oleh perusahaan farmasi milik BUMN Kimia Farma adalah buatan China yang mempunyai kualitas yang buruk. Padahal, Kimia Farma sebelumnya mengklaim alat tersebut diimpor dari Belanda dengan merekBiozek.
"Ketika akurasi hanya mengenai status positif Covid-19, tentu tidak terlalu riskan. Yang membahayakan adalah hasil test false negative atau negatif palsu, sangat berbahaya bagi peserta test dan keluarganya karena mereka tidak lagi awas dengan Covid-19. Tercatat merek-merek Biozek dan VivaDiag sebagaimana laporan OCCRP-Tempo," kata Sulaiman.
TEROPONG JUGA:
>Memberantas Mafia Pengadaan Alat Kesehatan di Tengah Wabah Korona
>Bagaimana Cara Membaca Rapid Test yang Benar
Sulaiman mengungkapkan, peringatan Menteri BUMN Erick Tohir tentang bercokolnya mafia farmasi dan alat kesehatan di Indonesia kian terbukti. Selain menyebabkan ketergantungan bagi bangsa Indonesia atas impor obat dan peralatan kesehatan, praktek tidak terpuji pun juga mewabah seiring wabah pandemi Covid-19.
Ia melanjutkan, problem alat-alat rapid test pun ternyata tidak hanya soal akurasi. Harga pembelian dan penggunaan di tingkat masyarakat pun sangat mengusik rasa keadilan jika diperbandingkan dengan harga asalnya.
Bagi masyarakat yang ingin melaksanakan rapid test merek Biozek dikenakan biaya Rp 550 ribu hingga Rp 650 ribu di sejumlah rumah sakit dan klinik. Padahal, harga pasaran Biozek hanya 5 euro atau sekitar Rp 80 ribu. Importir juga menikmati pengecualian izin impor dari BNPB dan mendapat pembebasan bea masuk dan pajak impor.
"Temuan OCCRP-Tempo ini mengingatkan kita akan gencarnya opini yang menuntut pemerintah membebaskan impor alkes beberapa waktu lalu memanfaatkan ketakutan rakyat akan pandemi Covid-19. Menteri BUMN Erick Tohir yang saat itu berusaha rem dan melihat gelagat tidak baik melalui pernyataannya soal mafia alkes, juga tak luput dari serangan bertubi-tubi hingga diupayakan pemanggilan," jelasnya.
Sulaiman meminta masyarakat harus mengawasi dengan seksama pihak-pihak yang mengambil keuntungan secara tidak terpuji dari kesusahan di masa pandemi Covid-19 ini. Mereka yang terbukti melakukan pelanggaran hukum merugikan rakyat dan negara, kata dia, pada waktunya harus dibawa ke hadapan hukum.
"Sanksi sosial dan politik juga harus dilakukan, jangan lagi pilih mereka yang melindungi dan bahkan terlibat dalam wabah mafia kesehatan yang bikin rakyat susah dan Indonesia sulit beranjak maju," tutupnya.
Untuk diketahui, Kimia Farma telah mengimpor 10 ribu box rapid test pendeteksi Covid-19. Barang Impor yang sebelumnya dikalim produk Belanda ini dikirim melalui jalur special access scheme. Dari total tersebut, sebanyak 6.500 box sudah didistribusikan ke fasilitas layanan kesehatan, laboratorium pemeriksaan Covid-19 dan dinas kesehatan berbagai tingkat.
"Rapid test yang diimpor dari Belanda dengan brand biozek 10 ribu box dan sudah didistribusikan sebanyak 6.500 box," kata Direktur Utama Kimia Farma Verdi Budidarma dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR-RI secara virtual, Jakarta, Selasa 21 April lalu.
Erick Thohir sebelumnya sudah menyoroti peluang pencaplokan importasi alat kesehatan yang saat ini sedang digencarkan demi memerangi virus korona. Ia menyebut ada mafia besar baik skala global maupun lokal yang membuat Indonesia tak lagi mandiri dalam industri kesehatan. Parahnya, kondisi ini pun terjadi di tengah pandemi Covid-19.
Ia mengajak semua pihak berkomitmen membongkar mafia yang membuat negara ini tidak mandiri. “Janganlah negara kita yang besar ini selalu terjebak praktik-praktik yang kotor sehingga tadi alat kesehatan mesti impor, bahan baku mesti impor,” katanya di Jakarta, Kamis, pertengahan April lalu.