Kata Nelson Mandela, pemimpin haruslah seperti pengembala, yaitu mengarahkan ternaknya dari belakang dengan persuasi dan cerdik. Jika satu atau dua ekor menyimpang, tugas kita adalah menuntun mereka agar kembali ke tengah-tengah kawanan” katanya. “Itu adalah pelajaran penting yang bisa diterapkan pula dalam politik.”
Dikenal luas di panggung politik internasional sebagai politisi murah hati, Nelson mendapati itu semua semasa puluhan puluhan tahun berada dalam penjara. Terlihat tidak. Penjara membawa Nelson menjadi politisi, yang hampir seluruh aspeknya terlihat sebagai moralis.
Napas moralis itu mengalirkan indah melalui penryataannya pada bagian lain mengenai kepemimpinan. Katanya, pemimpin adalah kemampuan menyatukan seluruh komponen masyarakat, baik kaum tradisionalis maupun reformis, konservatif maupun liberal, padahal mereka ini kerap kali berbeda pendapat jauh dalam persoalan-persoalan penting.
(Lihat Anthony Sampson,2016).
Mirip dalam esensi dengan pernyataan Mandela, Profesor Soepomo jauh sebelumnya telah mengatakan bahwa pemimpin Kepala Negara adalah yang memiliki kebijaksanaannya. Pandangan ini dikemukakan pada saat Profesor Soepomo (ketua Panitia kecil Perancang UUD 1945)
menanggapi gagasan Bung Hatta.
Bung Hatta menghendaki agar menteri-menteri memiliki tanggung jawab. Tanggung jawab yang dihasratkan Bung Hatta berbentuk kebijakan menteri harus memperoleh dukungan DPR. Dalam hal kebijakan ditolak DPR, disini terlihat samar-samar, Bung Hatta menghendaki sang menteri mengundurkan diri.
Gagasan berspektrum politik dan konstitusi kabinet parlementer ini, ditolak Profesor Soepomo. Cara penolakannya sangat khas negarawan. Nadanya bersifat kekeluargaan, sebuah nada yang konsisten dengan fundasi sosio politik yang melandasi UUD yang sedang dirancang itu.
Nada itu terlihat dalam pernyataannya bahwa menteri tahu apa yang harus dilakukan. Mengapa hanya sebatas itu? Ini disebabkan Profesor Soepomo percaya pada kebijaksanaan Kepala Negara. Praktis Profesor Soepomo menyerahkan persoalan itu kepada Kepala Negara. Kepala Negara, dengan demikian harus memimpin dengan bobot kepemimpinan khas seorang Kepala Negara.
Lain mimpi konsatitusi, lain pain kenyataan kenyataan konstitusi. Sejauh ini tak satu pun kata dari Presiden Jokowi mengenai silang pendapat beberapa menterinya dengan Gubernur DKI Jakarta. Harus diakui, penampilan para menteri itu tidak menginjak-injak huruf-huruf UUD 1945, tetapi tidak untuk alasan moralitas konstitusi.
Tidakkah Negara ini adalah kesatuan? Tidakkah konstitusi Negara kesatuan, salah satu yang terkecil adalah organisasi pemerintahan negara itu satu? Sebagai satu kesatuan organisasi, pemerintahan dalam konteks ini diharuskan bekerja dalam semangat yang sama. Disana-sini pada semua aspeknya harus terpadu dan terpola.
Tingkatan pemerintahan pusat dan daerah sama sekali tidak berimplikasi pemerintahan-pemerintah menyandang kapasitas hukum sebagai dua organisasi penyelenggara kekuasaan negara yang terpisah satu sama lainnya. Tidak. Pembicaraan-pembicaraan para pendiri bangsa ini pada tanggal 19 Agustus 1945 memperlihatkan secara jelas.
Pembentukan pemeritahan daerah dimaksudkan untuk mengonsolidasi negara yang baru didirikan. Juga menandai pemerintah pusat memegang tanggung jawab mamakmurkan rakyat di seluruh daerah.
Itulah panduan politik dan konstitusi dibalik pembentukan pemerintahan daerah.
Panduan itu kini terlihat dikecohkan dengan tingkah pemerintah, menteri yang terlihat hendak menunda realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Menggantungkan sebagian realisasi DBH, dengan meminta penjelasan BPK, bukan saja tidak memiliki pijakan hukum, tetapi mengingkari kewajiban pemerintah.
Arogansi pasti tidak akan menjadi kata yang tepat melukiskan kenyataan itu, apalagi demokrasi selalu menyediakan ruang legitimasi kebijakan. Menjegal Anies juga tidak bakal menjadi kalimat manis untuk melukiskan kenyataan itu. Mungkin.
Tetapi memang, demokrasi yang tak teradaptasikan, dan dituntun dengan kearifan-kearifan hebat bangsa ini, memungkinkan orang memanggil kata itu untuk melukiskannya.
Menariknya semua itu, sejauh ini terlihat sebagai hal biasa, tentu atas nama demokrasi, yang sejauh ini terus-terusan memperlihatkan begitu banyak sisi merusaknya. Gagasan pelonggaran PSBB, yang menggelinding beberapa hari belakangan, sekalipun tak didasari pertimbangan para ahli, besar juga harus dilihat dalam keramgka itu. Besar kemungkinan diwujudkan. Para ahli epidemologi, dokter dan lainnya dalam bidang ini, seperti yang telah lalu, tak bakal dapat memaksa, tentu dengan ilmunya, menunda kebijakan itu.
Rakyat, suka atau tidak, harus memupuk kesanggupan baru untuk setiap saat bisa beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan, yang minim rasionalitasnya. Melarang mudik disatu sisi, tetapi disisi lain yang sangat dekat dengannya, melonggarkan PSBB, memang terlihat tak masuk akal, tetapi harus diterima.
Tak ada pilihan. Begitu kebijakan diambil, semua perangkat negara dan sistem bernegara bekerja. Toh demokrasi memungkinkan orang berbeda pendapat mengenai semua hal, terlepas dari derajat
rasionalitasnya. Harga minyak dunia telah turun, tetapi Pertamina tetap pada harga biasanya, tentu konyol. Tetapi sekonyol ini sekalipun, rakyat harus menerimanya.
Rasio tak lagi penting. Itu menguat pada kenyataan menteri mempersoalkan validitas data penerima bansos pusat. Ini lucu. Ini merendahkan level pemerintahan, tetapi beginilah nyatanya. Sikap ini menandai terpecah-pecah, tentu tak terkordinasi pada level yang meyakinkan sebagai satu organisasi. Menariknya sikap rendahan ini justru didemonstrasikan secara terbuka.
Bermain politik dengan gubernur, mungkin menjadi hal yang tak terhindarkan dalam semua masyarakat demokratis yang selamanya rapuh. Dorong politik untuk berkelahi secara demokratis, tak selaklu jelek dalam masyarakat demokratis. Tetapi dibelahan dunia manapun, dulu maupun sekarang, demokratis atau tidak, kepemimpinan selalu muncul menjadi kunci masyarakat memupuk harapan.
Soal-soal etis memang telah menjadi begitu mahal dalam berpemerintahan. Tetapi semahal apapun, soal ini menjadi kunci khusus, penentu pemerintahan layak atau tidak dipercaya. Kepercayaan tak bisa,
dengan alasan demokrasi, disandarkan semata pada pemilu. Tidak. Itu karena pemilu juga ditemukan dan diselengarakan di negara yang kacau balau.
Presiden dan menteri memang tidak dituntut oleh huruf-huruf dalam UUD 1945 untuk berbaik-baik dengan pemerintah daerah. Betul itu. Tetapi bukan disitu masalahnya. Masalahnya konstitusi tidak hanya dapat dimengerti berdasarkan huruf-huruf UUD.
Profesor Soepomo, memberikan peringatan yang baik sekali untuk dikenali. Katanya konstitusi tak dapat dimengerti semata-mata hanya dengan memeriksa huruf-huruf konstitusi itu. Konteks dan hasrat pementuk UUD yang tak seluruhnya terformulasi dalam UUD 1945, juga harus diambil saripatinya dan dijadikan tuntunan berpemerintahan.
Romantisasi terhadap kearifan-kearifan yang disajikan pendiri bangsa, mungkin ditertawakan demokrasi mutakhir. Melihat kebelakang, bukan sesuatu yang baik ditengah balapan tertatif-tatih menuju kemajuan. Tetapi tidakkah kearifan-kearifan itu telah diambil dan dijadikan energi trerbesar sebagian dalam balapan menuju kemajuan? Sudahlah itu cerita lain.
Kearifan, panduan non imperatif ini, memang tak bisa bekerja pada semua waktu. Tetapi justru karena tak bisa bekerja pada semua waktu itulah, maka kearifan menemukan elannya sebagai pemecah perselisihan yang mengagumkan. Mungkinkah mengharapkan Presiden menghidupkan
kearifannya, sehingga menteri-menterinya tak menyayat hati rakyat di hari-hari yang akan datang? Semogalah Presiden bersedia menemukan kearifan-kearifan yang disajikan para pembentuk UUD 1945.
Kearifan-kearifan itu, bila ditem,ukan, niscaya tertuntun dengannya dan memiliki kebaranian mempertimbangkan kebijakan menaikan Iuran BPJS. Andai Presiden tak
mampu memberi hormat pada Mahkamah Agung, ya sudah hormat saja pada hukum. Hormat pada hukum adalah cara terbaik memberi pelajaran besar kepada rakyat.
Memimpin menteri, seharusnya menjadi pekerjaan paling sederhana. Sayangnya hal sederhana ini berbelok, entah karena demokrasi atau apa yang lain, mengakibatkan memimpin menteri terlihat rumit. Mungkin begitulah harga yang harus dibayar untuk demokrasi yang full liberal, degan kapital kompas dan nahkodanya.
Itu sebabnya demokrasi bersandar, untuk sejumlah hal, pada kepemeimpinan. Itu yang ditunjukan oleh George Washington, presiden pertama Amerika itu. Walau bisa, tetapi ia menarik diri, tidak bersedia mencalonkan diri untuk periode ketiga jabatan presiden.
Kepemimpinan tidak pernah merupakan sesuatu yang terberi. Perpaduan antara otak dan hati, induknya akal sehat, akan melahirkan anak-anak yang bernama kearifan. Tegas pada waktunya, dan lembut juga pada waktunya. Ini untuk semua urusan kepemimpinan, tak bisa dikesampingkan.
Apapaun itu, sejauh ini waktu telah menjadi penilai tanpa cela atas tindakan pemerintahan. Penampilan pemerintahan, selalu begitu, akan dibawa dan diletakan dalam sejarah. Sejarah memang memiliki wajah ganda, mencela secara permanen pemimpin tertentu disatu sisi, sembari memberi kredit hebat pada pemimpin tertentu.
Sejarah punya hukum yang tak berubah. Sejarah selalu terus digoda, dan digerakan oleh hasrat memanusiakan manusia. Setiap kerumitan dalam balapan menggapai cita bangsa yang dicantumkan dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, selalu menunjuk pemimpin sebagai penentu. Sejarah selalu begitu, hanya menulis pemimpin dalam dua kategori besar; pembaharu atau perusak. Tak lebih.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #jokowi #menteri-jokowi #margarito-kamis