Opini
Oleh Margarito Kamis pada hari Kamis, 18 Jun 2020 - 15:38:27 WIB
Bagikan Berita ini :

Logis DPD Minta Penundaan Pilkada

tscom_news_photo_1592469507.jpg
Margarito Kamis (Sumber foto : Istimewa)

Pilkada, sejauh ini, hendak dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Disana-sini terlihat KPU mulai mengambil ancang-ancang untuk melaksanakannya. Dalam ancang-ancang itu KPU menyajikan sejumah masalah, teknis dan non teknis, yang saya nilai tak bisa disepelekan.
Masalah-masalah itu, begitu banyak. Tetapi dapat disederhanakan menjadi dua masalah. Pertama, uang. Uang terlihat tidak tersedia secara memadai. Itu sebabnya pada beberapa kesempatan, KPU meminta kepada pemerintah tambahan uang untuk kepentingan ini. Kedua, teknis pelaksanaan. Kenyataannya, Covid masih terus eksis sejauh ini.
Apa masalahnya secara ketatanegaraan kalau pilkada Desember 2020 nanti ditunda? Apakah penundaan itu mengakibatkan pemerintah daerah menjadi kosong, tidak eksis? Apakah penundaan itu mengakibatkan penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diotonomikan menjadi lumpuh?

Lumpuh pulakah pelayanan pemerintahan kepada rakyat di daerah? Tak terselenggarakannya semua urusan pembangunan di daerah? Tak terselenggarakannya tugas-tugas bantuan yang diselenggarakan pemerintahan daerah? Sama sekali tidak.
Entah berapa trilyunan rupiah sudah dihabiskan negara untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah sejauh ini. Tetapi dapat dipastikan, terlepas berapa jumlah tepatnya, jumlah yang telah d keluarkan itu tetap saja merupakan sebua persoalan tersendiri. Persoalan ini, sesungguhnya menarik untuk dibicarakan lebih komprehensif.

Seperti yang telah berlangsung, selalu setiap kali pilkada datang, daerah-daerah tertentu, menemukan diri berada dalam kekurangan, dan keharusan untuk menunda, mengesampingkan sejumah kegiatan non pilkada. Tindakan itu diambil sebagai akibat keharusan untuk mengalokasikan dana yang terbatas untuk menlenyelenggarakan pilkada.

Kali ini pun sama. Pemerintah daerah menemukan diri dalam ketidakmampuan, kekurangan menyediakan dana melaksanakan pilkada. KPU telah beberapa kali meminta, dalam nada mengingatkan pemerintah tentang kenyataan kekurangan dana penyelenggaraan pilkada. Berkali-kali soal itu dikemukakan KPU.

Pernyataan official KPU, terlihat beralasan, berkorelasi signifikan dengan kenyataan empiris. Pernyataan ini berkorelasi kuat dengan temuan otoritatif DPD. Reses anggota DPD beberapa lalu menemukan kenyataan itu.

Kepada anggota DPD, pemerintah-pemerintah daerah meminta bantuan mereka menyampaikan kepada pemeritah Pusat membantu menyediakan dana pilkada. Kenyataan ini terungkap dalam rapat peripurna DPD tanggal 17 Juni 2020, usai mereka reses.
Ketua DPD, Lanyala Mahmud Mattaliti dalam rapat paripurna itu tegas dan terbuka menyampaikan bahwa sejumlah pemerintah daerah meminta bantuan aggota DPD mengusahakan agar pemerintah pusat dapat membantu menyediakan dana pilkada. Jelas, lebih dari yang bisa dibayangkan, sejumlah daerah sedang menemukan diri tak mampu menyediakan uang untuk menyelenggarakan pilkada.
Andai DPD secara ofisial menyampaikan temuan itu ke Presiden, bagaimana respon Presiden? Apakah Presiden serta-merta memanggil Menteri Keuangan untuk menyediakan uang itu? Apakah Presiden segera memeritah Mendagri untuk berbicara dengan pemerintah daerah sehingga dapat mengetahui secara pasti jumlah yang dibutuhkan?
Apapun itu, kenyataan terferifikasi atas polemik kecil antara Menteri Keuangan dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta mengenai dana Bagi hasil DKI Jakarta, beberapa waktu lalu, menarik. Kenyataan itu mengharuskan siapapun untuk menanyakan performa kas negara.
Cukup beralasan untuk menandai kenyataan itu sebagai refleksi faktual kas negara sedang tidak dalam performa meyakinkan. Lambat atau belum dipenuhinya kewajiban pemerintah pusat menstranfer dana bagi hasil itu, jelas maknanya. Kas negara, sekali lagi, sedang berada dalam performa yang tidak asyik.
Kenyataan hitam itu berpadu dengan kenyataan lain yang terlihat sama hitamnya dengan kenyataan lainh. Kenyatan itu adalah pemerintah secara energik meminta, dengan nuansa menekan pemerintah-pemerintah daerah melakukan realokasi anggaran daerah. Ini terjadi beberapa waktu lalu.
Tidak mungkin realokasi anggaran tidak bermakna reorientasi arah penggunaan anggaran, yang akhirnya mempengaruhi postur pembangunan daerah. Tidak mungkin itu, setidaknya realokasi itu berakibat orientasi anggaran daerah untuk sesaat, diarahkan untuk sebesar-besarnya usaha menjinakan, sebelum akhirnya dapat menghalau covid.
Mengubah orientasi anggaran, melahirkan konsekuensi bidang lain yang harus dibangun, mau tak mau harus ditangguhkan sementara. Apa yang ditangguhkan? Penangguhan ini memang tidak merusak sektor pembangunan yang ditangguhkan sementara itu, tetapi tetap bermakna menunda pemenuhan kebutuhan pada sector yang ditangguhkan itu.
Kebutuhan-kebutuhan ini, untuk sebagian jelas elementer. Kesehatan itu elementer. Dan itu yang dituju sekarang, dan ini baik. Sama elementernya dengan sektor ini adalah pendidikan. Dampak elementer Corona terhadap pendidikan jelas sejauh ini. Murid-murid harus belajar secara online.

Di daerah, siapa saja yang punya computer, sehingga bisa belajar secara online? Soal seelementer ini, karena keadaan, harus ditangguhkan dan dipenuhi dengan ara yang menyesakan, tetapi keadaan faktual mengharuskannya untuk diterima. Disitu soalnya.

Sifat konstitusional pendidikan, yang begitu elementer, tak tergantikan, tak tersedia cara menangguhkan, dalam kenyataannya ditangguhkan pemenuhannya. Mengapa pemilihan kepala daerah, yang secara tata negara tersedia cara untuk menangguhkan, dipaksakan pelaksanaannya?
Harus diakui, suka atau tidak, senang atau tidak, penundaan pilkada sama sekali tidak berakibat tertangguhkannya pelayanan kepada masyarakat atau mengakibatkan pemerintahan daerah tidak berfungsi. Sama sekali tidak. Tidak adanya kepala daerah defenitif, sama sekai tidak berakibat pemerintah tidak dapat berfungsi.

Untuk beberapa saat kekosongan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dapat diisi sementara sebagai penjabat oleh Sekertaris Daerah. Untuk beberapa saat kemudian, jabatan itu dapat diisi oleh pejabat Kepala Daerah.

Tidak ada satupun ketentuan dalam hukum positif sejauh ini yang mengatur pejabat Kepala Daerah tidak dapat menjalankan fungsi kepala daerah. Sama sekali tidak ada ketentuan itu. Pejabat Kepala berhak melakukan tindakan hukum layaknya kepala daerah. Berhak, dengan semua alasan hukum, pejabat kepala daerah membahas RAPBD dan melaksanakan APBD.
Pejabat kepala dapat dan sah melakukan semua tindakan pemerintahan daerah untuk, misalnya mengurus Covid. Penyebaran Covid, boleh saja menunjukan kecenderungan menurun, menyempit di sejumlah daerah. Itu betul. Tak bisa disangkal. Tetapi masalahnya apakah kecenderungan itu bersifat permanen?
Betul sejumlah daerah telah menempuh jalan pelonggaran PSBB? Betul itu? Masalahnya apakah kenyataan didaerah-daerah itu telah sungguh-sungguh menjanjikan keamanan maksimum; telah hilangnya potensi penyebaran Covid? Di Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah misalnya per 17 Juni, masih belum benar-benar nyaman. Sampai dengan tangal 17 Juni, di Semarang misalnya, masih memusingkan gubernur Ganjar.
Covid telah membuat kepala daerah yang eksis dan bakal calon berkantong tebal entah dari dan bagaimana mengisi kantong itu, menempatkan eksistensinya secara lebih produktif. Cara ini tidak dimiliki calon kepala daerah lainnya yang pas-pasan.
Dari hari ke hari, kepala aerah incumbent dapat dengan mudah jumpa masyarakat, memberi bantuan, apapun itu. Dan ini tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran. Tapi akal sehat mana yang tidak menunjukan keadaan itu sebagai hal yang menguntungkan dirinya?
Tidakkah soal beginianlah yang selama ini dipersoalkan? Tidakkah soal beginianlah yang menjadi piaka ketentuan-ketentuan tentang larangan kepala daerah menggunakan dana Bansos untuk, secara samar, sebagai tindakan yang memberikan keuntungan politik pada dirinya?
Terlalu sulit untuk tak mengingatkan bahwa cara ini sungguh-sungguh jorok dalam semua aspeknya. Jorok karena, ditengah kesulitan yang ditimbulkan oleh peristiwa alam, yang mengakibatan secara tata negara harus direspon dengan dibuat kebijakan non konfensional, tetapi justru pada saat yang sama memberi keuntungan pada orang tertentu.

Incumbent dan calon tajir berselancar secara sah ditengah hukum darurat corona dengan semua alasan kemanusiaan mendatangi, membagi ini dan itu, sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh calion biasa-bioasa saja, bukan sekadar persoalan kemampuan rill. Bukan. Ini soal tatanan keadilan. Sekali ini soal tatanan keadilan, buklan soal kemampuan finansial.

Tidak perlu pergi ke sudut-sudut sejarah pemilihan umum, untuk mengetahui bahwa pemilihan, termasuk pilkada, sbagai peristiwa kecurangan telah menjadi tipikalnya paling jelas. Memerikasa secara cermat data yang tersedia di Mahkamah Konstitusi telah cukup untuk menyatakan bahwa pemilihan kepada daerah tuidak berjarak jauh dengan tipu menipu, curang dan sejenis.

Selalu begitu dalam sejumlah aspek, aparatur penyelenggara dari yang terbawah, terkecil hingga di kabupaten dan provinsi, sulit bertindak, tak usah adil, profesional saja susah. Bukalah mata dan fikiran untuk merenungkan kenyataan ini secara utuh.
Dalam keadaan yang gembira, tak dihantui tertular Corona saja, petugas tak dapat bekerja secara utuh, mengawasi setiap sudut penyelenggaraan pemilu, apalagi ditengah ancaman mahluk corona yang berbashaya ini? Tanpa menggunakan APBD saja, petugas tak bisa lincah, menjangkau semua daerah pemilu, apalagi pakai APD, ditengah ancaman mahluk ini? Konyol.

Tanpa corona saja pemilih, seperti biasanya, tak semuanya mendapat undangan memilih, apalagi ditengah corona. Berapa reribu orang yang tidak akan dapat undangan memilih ditengah corona ini? Jadi hantukah semua suara mereka yang tidak mendapatkan undangan memilih?

Handicap konstitusional terbesar pemilihan di tengah Corona adalah keadilan melayang sejauh muingkin, tak terbayangkan, entah kealam mana. Keadilan yang merupakan prinsip dasar pemilihan ini, dapat dipastikan dengan akal sehat tak terpenuhi dalam pemilu kali ini.

DPD dalam konteks ini, saya usulkan untuk tak hanya menyerahkan perbincangan soal ini ke Komite terkait dengan Mendagri. Menyelenggarakan Paripurna untuk memfomalkan sikap memastikan pilkada ditunda, hemat saya layak diambil. Bila terwujud, sikap yang diputuskan dalam Paripurna diserahkan kepada Presiden.

Kenyataan-kenyataan yang telah ditemukan oleh DPD dalam reses yang baru saja berakhir, hemat saya beralasan dijadikan pijakan untuk menghidupkan pasal 201A ayat (3) Perpu Nomor 2 Tahun 2020. Terminologi pemungutan suara dalam pasal itu, adalah penyamaran dari pemilihan kepala daerah.

Pemungutan suara adalah bentuk kongkrit pemilihan kepala daerah. Menunda pemungutan suara, tidak bermakna lain, selain menunda pemilihan kepada daerah. Penundaan itu harus didasarkan pada keadaan nyata. Keadaan nyata itu harus memiliki sifat hukum menghalangi, membahayakan realisasi prinsipkonstitusional tindakan itu yaitu pemilihan. Prnsipnya adalah keadilan. Semoga.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #margarito-kamis  #pilkada-2020  #dpd  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...