JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin menilai bahwa penyiaran over the top (OTT) yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix tak bisa diatur dalam UU Penyiaran.
"Betul OTT belum masuk dalam UU Penyiaran karena sistem pemancar media digital dan media penyiaran sangat berbeda, sehingga kontrol pengaturannya juga berbeda," kata anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin saat dihubungi, Senin (31/8/2020).
Meski begitu, kata Hasanuddin, substansi produksi OTT ini sudah diatur oleh undang-undang lain seperti misalnya bila mengandung pornografi ada UU Pornografi, atau UU ITE dan juga UU Pemberantasan Teroris.
"OTT ini bukan tanpa pengawasan tapi sudah diatur oleh UU lain selain UU Penyiaran," tegas politisi PDI Perjuangan ini.
Permasalahannya, kata Hasanuddin, adalah iklan-iklan yang disebarluaskan oleh OTT yang juga perlu diatur oleh UU lain agar negara tak dirugikan.
"Ya gugatan yang diajukan oleh dua stasiun TV ini mungkin relevan ya, tapi buat kepentingan publik biasa saja, tidak relevan-relevan amat. Bahkan mungkin karena persaingan bisnis. Mungkin, kedepannya baik substansi atau iklan OTT diatur UU lain agar memiliki payung hukum tetap. Tetapi bukan UU penyiaran," tandasnya.
Sebelumnya, PT Visi Citra Mitra Mulia ( iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia ( RCTI) menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Perusahaan media ini mengajukan uji materi soal UU Penyiaran dan menilai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menyebabkan perlakuan berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran over the top ( OTT) yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix.
Apabila gugatan itu dikabulkan, masyarakat baik perorangan maupun badan usaha, terancam tidak leluasa menggunakan media sosial, seperti YouTube, Instagram, Facebook dkk, untuk melakukan siaran langsung (live).