JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus memperhatikan tren penjualan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang semakin besar.
Menurutnya, semakin besar tren penjualan, maka semakin banyak orang yang terlibat dalam industri ini,
“Sehingga diperlukan keterlibatan pelaku usaha dalam memberikan masukan kepada pemerintah," ujarnya beberapa waktu lalu.
Namun, Heri pun mengakui bahwa ia tidak dapat mengatakan apakah tren HPTL akan terus meningkat atau malah menurun ke depannya.
Untuk itu, saran dia, perlu segera dibentuk semacam roadmap terkait industri ini,
"Sehingga dapat terlihat dampaknya, mulai dari pendapatan negara dari cukai, tenaga kerja, industri, serta ekspor dan impor. Sehingga ke depannya bisa ada kebijakan yang lebih tepat," katanya.
Heri kemudian menambahkan bahwa ia mendorong pemerintah untuk melakukan kajian-kajian ilmiah secara komprehensif terkait industri HPTL ini.
Hal tersebut diperlukan sebelum pemerintah memutuskan apakah industri ini perlu di dukung atau sebaliknya.
"Harus ada pernyataan sikap dari pemerintah apakah industri ini akan dibawa ke arah sunset industry (sedikit demi sedikit dihilangkan), atau akan dibawa ke arah yang lebih maju lagi.
Tentunya hal itu harus didasari oleh kajian-kajian ilmiah di sisi kesehatannya dan sisi-sisi lainnya," jelasnya.
Menurutnya, kajian-kajian ilmiah mengenai HPTL yang khusus dilakukan di Indonesia mesti terus ditingkatkan agar produk yang akan ditawarkan benar-benar bisa diterima masyarakat sebagai sebuah alternatif.
Heri mengatakan bahwa kajian mengenai HPTL sudah banyak, namun masih berasal dari kajian di luar negeri.
Sementara itu, untuk kajian di Indonesia masih relatif jarang, khususnya yang dilakukan dari berbagai aspek.
“Misalnya dari aspek kesehatan. Risiko kesehatannya apakah benar lebih rendah daripada rokok konvensional, dan katanya bisa mereduksi TAR. Kalau benar tidak ada TAR nya, apakah ada risiko lain dari bahan-bahan kimianya, apakah bisa berisiko bagi kesehatan. Kita belum punya kajian mengenai hal-hal tersebut yang bersifat ajeg, yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah," ujarnya.
Dikatakannya, kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah mengenai HPTL tersebut harus secara komprehensif. Tidak hanya dari sisi kesehatan, namun bisa juga kajian dari sisi ekonomi, sisi cukai, atau dari sisi industrinya sendiri. Dengan demikian, pemerintah bisa memutuskan arah dari industri HPTL ini.
“Semuanya tergantung pemerintah. Masyarakat dan pengusaha hanya bisa mengikuti," katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Prof Tikki Pangestu, mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO yang juga Profesor di Sekolah Kedokteran Yong Loo Lin, Universitas Nasional Singapura (NUS) mengatakan, keberadaan produk Alternative Nicotine Delivery System (ANDS) seperti vape sebagai produk alternatif akan sulit didukung tanpa penelitian yang memadai.
Padahal, kata dia, sejumlah penelitian di negara-negara maju telah membuktikan bahwa kehadiran vape mampu menjadi alternatif bagi para perokok konvensional.
Yang mesti menjadi perhatian bersama adalah minimnya kajian dan penelitian lokal dalam mengkaji dampak dan risiko produk alternatif seperti vape, di mana hal ini akan berkontribusi dalam merancang peraturan terkait vape di Indonesia.
"Meskipun ANDS tersedia di Indonesia, namun belum ada kerangka regulasi yang komprehensif dalam mengatur produk-produk tersebut," ungkapnya.
"Akibat dari kurangnya regulasi, perokok dewasa tidak memiliki akses kepada lebih banyak produk alternatif, yaitu produk yang menghantarkan nikotin dan berpotensi menimbulkan risiko lebih rendah bagi perokok dan lingkungannya," sambungnya.
Sementara itu, karena kurangnya penelitian lokal, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menganggap ANDS, seperti vape/rokok elektrik, sama bahayanya, atau bahkan lebih berbahaya daripada rokok konvensional.
Tikki menyarankan agar penelitian mengenai ANDS harus melibatkan semua pemangku kepentingan yang relevan dalam industri produk nikotin alternatif, seperti pemerintah, pakar kesehatan, akademisi, pelaku bisnis, dan asosiasi.
Penelitian diperlukan, kata Tikki, sebagai bahan pertimbangan Pemerintah nantinya dalam mengambil sebuah kebijakan.
"Penelitian penting dilakukan untuk argumentasi ke pemerintah sebagai dasar dalam membuat kebijakan," tandasnya.