JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid mendukung bila seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mencontoh kearifan lokal yang ditetapkan menjadi Peraturan Daerah di Papua, provinsi yang mayoritas warganya beragama Kristiani, soal larangan minuman beralkohol, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota.
HNW, sapaan akrabnya, yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini, menilai Perda-Perda yang berlaku di Papua itu seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi DPRRI dan Pemerintah Pusat soal perlunya upaya menyerap kearifan lokal daerah dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol yang sudah dibahas di DPR sejak 2009.
“DPR dan Pemerintah perlu lebih bijak dan cermat, turun ke daerah dan melihat bagaimana sikap Pemda Papua dan DPRD Papua, serta masyarakat di sana terkait adanya peraturan daerah larangan minol ini,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (13/11).
Lebih lanjut, HNW menjelaskan bahwa pelarangan minuman beralkohol di Papua dilakukan sejak diberlakukannya Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol oleh DPRD Papua dan Gubernur Papua Lukas Enembe.
Bahkan, di Kabupaten yang sering disebut sebagai kota Injil; yaitu Manokwari (Provinsi Papua Barat) sudah memiliki Perda sejenis sejak 2006.
Soal pemberlakuan larangan minuman beralkohol, Pemprov Papua lebih tegas lagi dengan diberlakukannya Perda Nomor 22 Tahun 2016 yang mengubah sebagian ketentuan dalam Perda No. 15 Tahun 2013.
“Dalam Perda yang terakhir, sejumlah pasal yang memberikan pengecualian justru dihapuskan. Jadi, intinya pelarangannya dilakukan secara total,” ujarnya.
HNW menuturkan bahwa Papua hanya satu dari banyak daerah di Indonesia yang telah memilki Perda larangan miras/minol.
Daerah-daerah lain yang memilki perda serupa, di antaranya, adalah Kabupaten Dompu (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi) dan lain sebagainya.
Apalagi, pada 2016 lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga sempat menegaskan bahwa setiap daerah harusnya mempunyai perda larangan miras, karena bahayanya yang sangat mengancam generasi muda.
Selain itu, HNW menambahkan bahwa aturan pelarangan minuman beralkohol atau minuman keras bukan melulu berkaitan dengan ajaran agama, walaupun seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak setuju apabila umatnya bermabuk-mabukan.
Namun, aturan pelarangan ini terutama juga berkaitan erat selain dengan penyelamatan generasi muda Indonesia, juga dengan penjagaan ketertiban umum, dimana ekses negatif minuman beralkohol yang terbukti banyak menyebabkan dekadensi moral, perilaku kriminal, keresahan sosial dan juga masalah kesehatan.
Apalagi, berdasarkan sejumlah penelitian, sebagian besar tindakan kriminal bermula dari mengkonsumsi alkohol.
Sementara itu efek minuman beralkohol ternyata juga lebih berbahaya, dibanding penggunaan ganja yang sudah dinyatakan terlarang di Indonesia.
“Jadi, apabila sudah dinyatakan ganja itu dilarang, logisnya alkohol juga dilarang. Maka larangan miras ini tidak tepat bila dikaitkan dengan kepentingan umat Islam saja. Melainkan kepentingan nasional. Dengan tetap mengecualikan berbagai hal yang khas untuk keperluan spesial, seperti upacara adat, keagamaan, penelitian dll. Di Papua yang mayoritas warga dan anggota DPRD-nya beragama Kristen malah sudah lama setuju dan memberlakukan adanya aturan hukum yang melarang produksi dan penjualan minuman beralkohol. Karena korban dari ekses negatif minuman beralkohol, baik dari sisi kesehatan, dekadensi moral, keresahan sosial, dan meningkatnya kriminalitas, akan menimpa semua warga negara tanpa membedakan latar belakang Suku dan Agamanya. Dan negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia dari minuman beralkohol beserta dampak-dampak buruknya,” pungkas HNW.