JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-- “Sekilas ikan di air, sudah tahu jantan betinanya.” Maksudnya dengan hanya melihat luaran telah diketahui keadaan atau situasi sebenarnya. Mirip dengan “dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu”. Peribahasa-peribahasa ini terkenang kembali ketika Presiden Joko Widodo menghimbau agar masyarakat lebih rajin mengeritik kebijakan-kebijakan pemerintah pimpinannya. Tersirat dalam himbauan sang presiden adalah kurangnya kecenderungan sementara kalangan dalam masyarakat untuk memberi kritik, karena terbukti sudah banyak yang mencoba menyampaikan pandangan yang berbeda dari yang disukai penguasa akhirnya harus berurusan dengan pihak berwajib.
Dalam laporannya yang dikutip CNN Indonesia, The Economist Intelligence Unit antara lain menyebutkan: “Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3”. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Pada hal menyusul Reformasi, media Indonesia dinilai di antara yang paling gigih dan bebas melancarkan kritikan terhadap penguasa. Namun barangkali memang ada benarnya “all good things must come to and end”. (Segala yang bagus itu niscaya akan berakhir).
Segera sesudah himbauan berbentuk undangan kepada para cerdik pandai di Indonesia agar menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah, maka banyaklah yang kemudian terkenang akan apa yang pernah dilakukan oleh pimpinan Partai Komunis Cina, Ketua Mao Zedong.
Sebagaimana diketahui pada tanggal 2 Mei 1956, Mao Zedong menghimbau agar para cendikiawan Tiongkok buka suara. Mao menggunakan perumpamaan “Biarlah Seratus Bunga Mekar, biarlah seratus pokok pikiran berkembang” (baihua yundong).
Tujuan dan makna sesungguhnya dari himbauan Mao Zedong itu (yang kabarnya mula pertama diusung oleh orang kedua dalam Partai Komunis Cina waktu itu, Zhou EnLai) sejak itu telah seru dan gencar diperdebatkan. Banyak yang menafsirkannya sebagai tipu daya Mao Zedong untuk memancing dan kemudian mengungkapkan siapa-siapa saja yang sebenarnya tidak patuh seratus persen terhadap kepemimpinannya, lalu digebuk.
Sampai kini banyak pakar yang tidak pasti apakah itu merupakan suatu kesilapan Mao atau tipu daya licik yang sengaja untuk mengenal siapa-siapa yang tidak seratus persen berpihak kepada penguasa (Mao Zedong). Mao sendiri pernah mengatakan bahwa ia telah berhasil “memancing ular-ular keluar dari guha”.
Pada hakikatnya tidak semua pemimpin sabar dalam menerima kecaman, biar bagaimana pun bagus dan bermanfaatnya sentilan tersebut.
Lain halnya dengan di Australia, di mana kita dapat menyaksikan betapa “beringasnya” oposisi dalam mengecam pemerintah, termasuk dalam debat di parlemen yang disiarkan langsung melalui radio dan televisi.
Konon kabarnya ketika masih berkuasa (alm) Presiden Suharto pernah menyampaikan kepada Menlu Australia waktu itu Gareth Evans, bahwa beliau sangat gemar mengikuti perdebatan di parlemen Australia yang waktu itu disiarkan langsung oleh ABC ke mancanegara.
“Untung di Indonesia kebiasaan seperti itu tidak dikenal,” kata Presiden Suharto kepada Menlu Gareth Evans.
Sebelumnya, begitu pernah disampaikan kepada penulis, Bung Karno sempat mengundang seorang sahabatnya Oei Tjoe Tat.
“Meneer (tuan) Ik (saya) butuh bantuan u (kamu),” kata Bung Karno.
Sang presiden kemudian menjelaskan bahwa meski beliau punya seratus menteri namun tidak ada seorang pun yang berani atau bersedia membantahnya kalau beliau menyampaikan sesuatu usul kebijakan dalam sidang kabinet. Semuanya inggih ndoro.
Menurut Oei Tjoe Tat, saking sungguh-sungguhnya Bung Karno ingin mengajak dirinya agar masuk dalam kabinet, beliau sempat memegang tangan Oei Tjoe Tat dan menariknya sampai ke WC karena beliau ingin buang air kecil namun tidak mau menyia-nyiakan waktu, karena biar harus buang air namun masih bisa memanfaatkan waktu itu untuk kepentingan urusan negara.
Melihat kesungguhan Bung Karno, Oei Tjoe Tat akhirnya masuk ke kabinet dan ketika dalam suatu sidang ia menilai usul kebijakan dari Bung Karno tidak atau kurang tepat, dan teringat akan keinginan Bung Karno, ia pun langsung menolak usul tersebut.
“Wah, si Bung sangat marah!” begitu penuturan Oei Tjoe Tat kemudian kepada sejumlah sahabatnya.
Selesai sidang kabinet Oei Tjoe Tat menghampiri Bung Karno dan mengingatkan akan permintaannya ketika dia (Oei Tjoe Tat) diajak agar masuk dalam kabinet.
“U yang minta ik untuk kritik,” kata Oei Tjoe Tat, “Dan sekarang u marah-marah sama ik.”
“Bukan begitu,” kata Bung Karno menjelaskan, “U boleh kritik, boleh bantah, tapi jangan di depan yang lain-lain. Nanti mereka semua ikut-ikutan kritik ik.”
Mungkin dalam budaya kita di Indonesia soal “muka” sangat penting. Jangan sampai kehilangan muka, begitu kira-kira. Kritikan mungkin dianggap dapat menjatuhkan air muka seseorang. Seperti dikatakan oleh orang Tapanuli Utara “sakitna tidak seberapa, maluna itu.”
Dalam budaya bangsa Semit ada suatu perumpamaan bagaimana seseorang yang keras kepala yang tidak suka menerima pandangan orang lain, meski benar, akan membantah kritikan terhadap dirinya.
Dalam kaitan ini orang tadi ditamsilkan sebagai seekor anjing yang bersusah payah hendak mengunyah tulang. Meski sudah diperingatkan bahwa itu tulang yang tidak lagi ada dagingnya, namun anjing tadi terus saja menggigit hingga akhirnya gusinya berdarah yang kemudian menitis ke luar. Melihat darah tadi, anjing tersebut dengan bangga mengatakan: “’Kan ada dagingnya, kalau tidak dari mana darah ini datangnya, karena tulang tidak punya darah.” Begitulah salah satu cara menanggapi atau menangani kritikan.
Bagi sementara orang, Islam dianggap sebagai salah satu agama yang “pantang” dikritik. Contohnya, kata mereka adalah kasus mantan Gubernur DKi Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, yang akhirnya dipenjara karena dakwaan yang bertalian dengan salah satu ayat Al Qur’an (QS 5:51) yang dianggap telah dinodai oleh Ahok.
Namun tidak sedikit juga Muslim yang menyadari bahwa dalam Kitab Suci Al Qur’an, ada ayat yang jelas-jelas mencerminkan “gugatan” atau “keberatan” oleh para malaikat terhadap kehendak Allah (swt).
Dalam QS 2:30 terdapat ayat yang berbunyi:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”, mereka (para malaikat) berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami senantiasa bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu? Dia (Allah) berfirman, “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Dalam ayat di atas tidak ada kesan Allah (swt) berang atau murka ketika digugat oleh para malaikat.
Bagaimana dengan manusia sebagai penguasa sementara? Wallahu a’lam.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #kinerja-jokowi