JAKARTA(TEROPONGSENAYAN)-Pro dan kontra publik soal wacana amendemen ke-5 UUD 1945 terjadi setelah Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyinggung isu konstitusional pada sidang tahunan MPR, Senin (16/8/2021) lalu.
Untuk itu, Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin mengatakan praktik kehidupan demokrasi masih mengalami pasang surut seiring dengan dinamika perkembangan politik di Indonesia. Secara konseptual pemikiran demokrasi yang berkembang di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran demokrasi di luar Indonesia.
“Demokrasi dan konstitusi telah menjamin dinamika politik dan sistem ketatanegaraan berkembang sesuai kehendak dan kebutuhan politik kebangsaan, selama agenda konstitusional ini tidak sedikit pun menegasikan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan di Republik ini,” ungkap Sultan B Najamudin di Jakarta, Sabtu (4/9/2021).
Menurutnya, sebagai negara Bangsa yang kompleks, pada hakikatnya Indonesia hingga saat ini masih mencari sistem dan pendekatan demokrasi yang relevan dengan Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia. Akibatnya sistem ketatanegaraan kita terkesan hibrid dan cenderung menjauhkan bangsa dari cita-cita negara kesejahteraan yang adil makmur.
"Oleh karena itu, pilihan amendemen ke-5 UUD 1945 dinilai tepat. Namun, jika amendemen hanya terbatas pada penambahan kewenangan menyusun PPHN keterlibatan MPR dalam RAPBN, rasanya sangat nanggung dan justru akan mengganggu titik keseimbangan dan harmonisasi ketatanegaraan kita. Bahwa, memaksa eksekutif bekerja sesuai PPHN dalam sistem presidensial merupakan praktik Komando Politik yang tidak proporsional bagi hubungan antar lembaga eksekutif dan legislatif,” kata eks Wakil Gubernur Bengkulu ini.
Jika kita benar-benar serius melakukan pembaharuan konstitusi, menurut Sultan, tidak boleh setengah-setengah apalagi setengah hati sesuai kehendak politik kelompok politik tertentu.
Oleh karena itu, penting untuk kita kaji ulang secara detail tentang bagaimana keterkaitan kausalitas antara pasal yang satu dengan pasal lainnya.
“Kami ingin mengatakan bahwa penambahan PPHN ataupun klausul lainnya secara parsial tentu akan mengakibatkan kerancuan konstitusi. Kita tak mungkin menugaskan presiden untuk melaksanakan tugasnya sesuai PPHN, sementara di saat yang sama presiden merasa sangat dominan (executive heavy) dengan legitimasi electoralnya sebagai daulat langsung rakyat,” ujar Sultan.
Bisa dibayangkan betapa rancunya sistem demokrasi konstitusional yang demikian. Kita memandang Indonesia harus memiliki pedoman pembangunan bangsa yang disebut PPHN, tetapi tidak lantas menyebabkan keseimbangan politik demokrasi perwakilan yang seimbang (check and balance).
Politik pengawasan dan evaluasi MPR sebagai mandataris kedaulatan rakyat dibatasi oleh kekuasaan eksekutif yang juga terlegitimasi mandat rakyat oleh pemilihan langsung.
Sultan Menuturkan bahwa sistem multi partai dan kapasitas personal pemimpin masih akan mengganggu jalan demokrasi Pancasila Indonesia, jika kita hanya memperkuat kewenangan MPR yang juga pemegang mandat rakyat dengan hanya pada memperbaharui UUD, dan menyusun PPHN.
“Oleh karena itu, kami mengusulkan agar tidak terkesan rancu, amandemen UUD harus dilakukan secara bersama-sama pada pasal yang terkait dengan suksesi kepemimpinan nasional. Terdapat anasir demokrasi lain yang urgen untuk kita dorong sebagai konsensus kebangsaan dalam amandemen UUD kali ini, yakni terkait kesetaraan dan keadilan politik bagi putra-putri terbaik bangsa non-partai politik dalam rekrutmen calon presiden,” kata Sultan.
Lebih lanjut, Sultan menjelaskan realitas multikultural dan memiliki kompleksitas multikarakter sosiologis bangsa Indonesia yang secara politik mewakili melalui lembaga DPD RI merupakan entitas politik yang tidak boleh diabaikan begitu saja dalam proses rekrutmen kepemimpinan nasional.
Di tengah kualitas kaderisasi partai politik yang seadanya, negara wajib memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada bakal Kandidat presiden independen dalam momentum suksesi kepemimpinan nasional, sama ketika dilaksanakannya prosesi demokrasi di daerah (Pilkada).
Di tengah krisis multidimensial bangsa yang sedikit banyak mengancam disintegrasi NKRI, kita membutuhkan cara-cara yang besar. Dengan begitu, menjadi penting bagi kita sebagai bangsa untuk mempertimbangkan misalnya menambah jumlah wakil presiden sesuai sistem zonasi kewilayahan di Indonesia saat ini yang berjumlah empat wilayah.
Negara ini dibangun atas fondasi kesepakatan perwakilan tokoh-tokoh daerah Dengan pertarungan kualitas intelektual dan moral politik unggul, bukan dibentuk atas paradigma dan orientasi politik praktis yang berdasar hanya pada kekuatan politik tertentu", tegas Sultan.
Sebagai penutup Senator muda asal Bengkulu itu menerangkan bahwa saat ini kita sedang berada di persimpangan jalan menuju negeri demokrasi madani.
Kita harus memilih untuk menerjemahkan demokrasi Indonesia sebagai demokrasi konstitusional yang bersifat hibrid, atau kita meletakkan demokrasi pada posisi puncak yang baku sebagai demokrasi Pancasila yang merupakan asas, falsafah dan pedoman politik tunggal dalam kita bernegara.
Kita harus memilih antara sistem presidensial yang cenderung mutlak dengan koalisi gemuk atau menetapkan MPR RI sebagai lembaga perwakilan tunggal sehingga tercipta demokrasi yang lebih proporsional dan ideal dengan suasana sosiologis bangsa,” ujar Sultan.