JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Sejumlah kalangan akademisi mengkritisi usulan perubahan delik penghinaan jadi delik fitnah dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang diusulkan pemerintah. Diketahui, delik tersebut tertuang dalam pasal 134 RKUHP.
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK), Hudy Yusuf mengaku kurang sependapat atas usulan perubahan delik tersebut sebagaimana yang diusulkan Aliansi Reformasi KUHP terhadap RUU KUHP.
Menurut Hudy, delik penghinaan pada Pasal 134 KUHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) itu tidak perlu diganti dengan delik fitnah.
“Saya tidak setuju dengan usulan perubahan tersebut, yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana mengedukasi masyarakat akan kesadaran dan pemahaman hukum mereka. Pasal 134 KUHP yang telah dibatalkan oleh MK saja saat itu menimbulkan multi interpretasi dari penguasa dan penegak hukum,” kata Hudy kepada wartawan, Senin (14/11/2022).
Hudy yang juga praktisi hukum itu justru menilai, keberadaan pasal tersebut selama ini bertolakbelakang dengan semangat demokrasi dan sudah tidak relevan lagi dengan semangat zaman yang serba terbuka seperti saat ini.
Oleh karenanya, Hudy menegaskan, pasal tersebut sebaiknya dieliminasi saja karena tidak mencerminkan kultur bangsa ini yang berpijak pada nilai-nilai musyawarah ketika menghadapi suatu persoalan.
Hukum, jelas Hudy, jangan dimaknai secara hitam putih dan dijadikan alat pembungkaman terhadap kebebasan warganya dalam berekspresi (bicara, menulis dan lainnya).
“Sudahlah, tak perlu bermain-main dengan hal-hal yang menimbulkan polemik dan ketidakpastian hukum. Masyarakat perlu diedukasi dan atau ada upaya rekonsiliasi, jika ada yang salah, maka perlu diklarifikasi bukan dikriminalisasi. Jangan jadikan RKUHP sebagai alat pembungkaman,” pungkas Hudy.