JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, ketentuan pidana terkait penghinaan atau penyerangan terhadap pemegang kekuasaan khususnya Presiden harus tetap ada. Karena di beberapa negara demokrasi hal tersebut tetap dipertahankan.
"Saya ingin ajak kita di samping melihat dari sisi pandang internal, perlu melakukan "benchmarking" terkait "lese majeste" hukum terkait dengan penyerangan kepada pemegang kekuasaan khususnya kepala negara bagaimana di negara lain," kata Arsul dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Politikus PPP itu menilai pasal terkait penghinaan Presiden-Wapres dalam RKUHP perlu dipertahankan, namun tantangannya adalah bagaimana agar tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang telah membatalkan pasal-pasal dalam KUHP yang dapat menyasar kasus-kasus penghinaan Presiden.
Arsul memberi contoh di Denmark diatur dalam Pasal 115 KUHP dengan ancaman pidana 4 tahun, lalu Pasal 101 KUHP Islandia dengan ancaman pidana 4 tahun, dan di Belgia ada UU dari tahun 1847 yang menyebutkan menghina kepala negara diancam pidana 3 tahun.
"Negara yang menggeser dengan melakukan dekriminalisasi dari pendekatan pidana ke perdata hanya Prancis di tahun 2013. Lalu Jerman di tahun 2017 melakukan dekriminalisasi kepada kepala negara lain, namun untuk kepala negara sendiri masih mempertahankan finalisasi 3 bulan sampai 5 tahun," papar-nya.
Dia juga mengatakan banyak negara-negara demokrasi seperti Indonesia, tetap mempertahankan "lese majeste" yaitu ketentuan pidana tentang penyerangan terhadap pemegang kekuasaan khususnya kepala negara.
"Agar menghindarkan potensi kesewenang-wenangan penegak hukum maka di pidana-nya harus diturunkan menjadi di bawah 5 tahun agar Polri tidak bisa langsung menangkap. Itu dalam rangka merespon kekhawatiran masyarakat maka perlu ada penjelasan Pasal 218 dan 219 RKUHP," papar Asrul.
Arsul juga menilai pasal-pasal terkait penghinaan Presiden harus tetap dipertahankan, namun harus dengan formulasi yang baik dan hati-hati dan menutup potensi untuk disalah gunakan seminimal mungkin.
Menurut Asrul, DPR Periode 2014-2019 telah mengusulkan tiga hal agar aturan tersebut tidak bertentangan dengan Putusan MK yaitu pertama sifat delik-nya diubah menjadi aduan, dan kedua; diberikan pengecualian pada ayat berikutnya yang bukan merupakan penyerangan seperti apa dalam rangka kritik dan pembelaan diri.