Pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2024-2029 dilantik 16 Desember 2024. KPK 2024-2029 produk Jokowi ini dinilai tidak sah, melanggar putusan Makamah Konstitusi (MK), karena dipilih melalui Panitia Seleksi yang dibentuk Jokowi.
Menurut putusan MK, Presiden hanya boleh satu kali membentuk Panitia Seleksi KPK dalam satu masa jabatannya. Jokowi sudah membentuk Panitia Seleksi KPK periode 2019-2024. Maka itu, Jokowi tidak boleh lagi membentuk Panitia Seleksi KPK periode 2024-2029.
“KPK produk Jokowi” diduga mempunyai dua misi utama. Pertama, mengamankan kasus-kasus (dugaan) korupsi Jokowi dan keluarganya. Kedua, menghantam lawan politik Jokowi, yang berpotensi mendiskreditkan Prabowo, karena seolah-olah Prabowo “bermain” keras: Jokowi ‘cuci tangan’.
“KPK produk Jokowi” pimpinan Setyo Budiyanto langsung menggebrak. Seminggu setelah pelantikan, pada 23/12/24, KPK menetapkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus suap kader PDIP Harun Masiku terhadap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Kasus Harun Masiku merupakan kasus lama, tahun 2019. Ketua KPK Setyo Budiyanto berdalih mempunyai bukti baru sehingga bisa menetapkan Hasto sebagai tersangka.
Tuduhan kepada Hasto mengundang tanda tanya besar, karena dinilai tidak masuk akal. Pertama, Hasto dituduh ikut menyuap Wahyu Setiawan untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI, menggantikan anggota DPR terpilih Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.
Tuduhan ini sangat janggal. Biasanya, pihak penyuap mempunyai motif untuk mendapatkan manfaat dari kasus penyuapan.
Dalam hal ini, manfaat apa, baik langsung atau tidak langsung, yang didapat Hasto dengan meloloskan Harun Masiku menjadi anggota DPR? Hampir tidak ada.
Yang lebih memprihatinkan, KPK mengatakan, sebagian uang untuk menyuap Komisioner KPU berasal dari Hasto. Tuduhan ini lebih tidak masuk akal lagi. Untuk apa Hasto mengorbankan uang pribadinya untuk meloloskan Harun Masiku menjadi anggota DPR? Manfaat apa yang didapat Hasto? Tidak ada.
Dengan kedudukan begitu tinggi di sebuah Partai pemenang pemilu, Hasto seharusnya menjadi target untuk disuap. Artinya, Masyarakat lebih percaya kalau Hasto dituduh menerima suap dari Harun Masiku. Bukan memberi uang kepada Harun Masiku untuk menyuap Komisioner KPU. Sangat tidak masuk akal.
Karena itu, penetapan tersangka kepada Hasto terkait kasus Harun Masiku terkesan mengada-ada, tidak profesional, dan tebang pilih. Masyarakat menilai Hasto dan PDIP, yang sekarang menjadi musuh utama Jokowi, memang sedang di-target.
Alasannya, kasus Harun Masiku sangat kecil, dengan nilai suap hanya sekitar 1,5 miliar rupiah. Serta, tidak ada kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, kasus ini seharusnya tidak menjadi prioritas utama KPK.
Karena, banyak kasus korupsi lainnya yang jauh lebih besar, dengan daya rusak lebih parah, dibandingkan kasus Harun Masiku. KPK seharusnya fokus pada kasus-kasus tersebut.
Seperti dugaan korupsi keluarga Jokowi, termasuk Kaesang, Gibran dan Bobby Nasution. Atau dugaan korupsi ‘minyak goreng’ yang melibatkan Menteri. Atau mega korupsi BTS Kominfo senilai Rp8 triliun yang tidak tersentuh. Atau skandal Goto (Gojek Tokopedia) yang merugikan keuangan negara Rp6,4 triliun, di samping juga merugikan masyarakat belasan triliun rupiah. Dan masih banyak kasus korupsi lainnya yang sudah terang-benderang tetapi tidak ditindaklanjuti.
Antara lain, dugaan korupsi Gibran dan Kaesang yang menerima gratifikasi dari korporasi yang terlibat kebakaran hutan. Kasus ini telah dilaporkan oleh saudara Ubaidilah Badrun kepada KPK. Atau, dugaan gratifikasi penggunaan pesawat jet pribadi Kaesang.
Ada juga kasus jatah tambang nikel "Blok Medan" yang sudah terungkap di sidang mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba. ‘Blok Medan’ diduga melibatkan Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu, putri Jokowi. Kasus ini juga sudah dilaporkan kepada KPK tetapi nampaknya dipeti-eskan. Tambang ‘Blok Medan’ juga diduga terlibat ekspor ilegal 5,3 juta ton bijih nikel.
Semua kasus korupsi di atas tidak ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum termasuk KPK. Diduga Jokowi melindungi semua kasus korupsi yang macet ini.
KPK seharusnya fokus pada kasus mega korupsi yang sudah terang benderang merugikan keuangan negara tersebut, yang jauh lebih dahsyat dari kasus meloloskan Harun Masiku menjadi anggota DPR yang tidak ada kerugian keuangan negara.
Pada prinsipnya, masyarakat mendukung penuh pemberantasan korupsi yang dilakukan secara profesional, tanpa tebang pilih. Bukan pemberantasan korupsi sebagai alat untuk menghantam lawan politik dan melindungi koruptor yang dekat dengan kekuasaan.
Masyarakat mengawasi perilaku KPK. Jangan sampai KPK menjadi pintu gerbang pemecah belah bangsa, yang bisa berakhir pada konflik sosial.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #