Senin, 3 Februari 2025, di kediaman Anies Baswedan, sebuah diskusi yang penuh makna berlangsung selama dua jam. Dalam suasana buka puasa yang hangat, pembahasan mengalir dari isu kebangsaan hingga strategi penyelamatan masa depan Indonesia. Tidak ada sekadar basa-basi; yang ada adalah refleksi mendalam tentang kondisi negeri dan langkah konkret ke depan.
Menakar Masa Depan Indonesia
Diskusi ini bermuara pada kesepahaman bahwa Indonesia tengah berada dalam cengkeraman oligarki yang menggerus demokrasi dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, muncul kesadaran bahwa negara harus diselamatkan. Tetapi bagaimana?
Pertama, Indonesia harus lepas dari cengkeraman oligarki. Oligarki politik dan ekonomi telah menguasai berbagai sektor, menjadikan kebijakan publik lebih berpihak pada kepentingan segelintir elite daripada rakyat banyak. Jika ini dibiarkan, demokrasi hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi.
Kedua, pengelolaan negara harus berbasis kompetensi, integritas, kejujuran, etika, dan moral. Negara ini terlalu besar untuk diserahkan kepada mereka yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan keuntungan pribadi. Profesionalisme dan kepemimpinan berbasis nilai adalah prasyarat utama untuk keluar dari keterpurukan.
Ketiga, masyarakat sipil harus menjadi motor perjuangan membela rakyat. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan besar di negeri ini selalu digerakkan oleh masyarakat sipil—bukan semata-mata oleh elite politik. Kesadaran kolektif dan keberanian untuk bersuara menjadi kunci utama dalam menegakkan keadilan sosial.
Keempat, dukungan rakyat kepada pemerintah bersyarat pada keberpihakan pemerintah kepada rakyat. Kepercayaan publik tidak bisa dipaksakan, melainkan harus diraih dengan kebijakan yang nyata-nyata membela kepentingan rakyat. Pemerintah yang bekerja untuk oligarki akan kehilangan legitimasi, sebaliknya pemerintah yang berpihak pada kesejahteraan rakyat akan mendapatkan dukungan penuh.
Kelima, syarat utama menyelamatkan negara adalah kepemimpinan yang kuat dan penegakan hukum yang tegas. Seorang pemimpin harus mandiri, tidak bisa dikendalikan oleh kepentingan tertentu, serta memiliki keberanian untuk menegakkan hukum secara adil. Tanpa kepemimpinan yang kuat dan hukum yang tegak, oligarki akan terus bercokol dan menggerogoti demokrasi.
Diplomasi Barongko: Buka Puasa yang Sarat Makna
Diskusi ini disebut sebagai "Diplomasi Barongko", merujuk pada hidangan khas Sulawesi Selatan yang tersaji dalam buka puasa bersama. Barongko, yang terbuat dari pisang, melambangkan kelembutan namun juga keteguhan. Filosofi ini sejalan dengan semangat perjuangan: perubahan harus dilakukan dengan kebijaksanaan, tetapi tetap berpegang pada prinsip yang kokoh.
Tidak semua yang dibahas dalam pertemuan ini bisa langsung dibuka ke publik. Ada banyak gagasan strategis yang masih perlu dikaji lebih dalam. Namun, satu hal yang jelas: ada keresahan yang sama, ada harapan yang sama, dan ada tekad yang sama untuk menyelamatkan Indonesia.
Diskusi ini bukan sekadar nostalgia politik atau keluhan atas kondisi bangsa. Ini adalah panggilan untuk bertindak. Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat, rakyat yang sadar, dan perjuangan yang tidak mengenal lelah.
Perubahan tidak akan datang dengan sendirinya. Tapi dari pertemuan seperti ini, harapan ituterusmenyala.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #