Oleh Cak AT (Ahmadie Thaha) pada hari Jumat, 14 Mar 2025 - 13:40:11 WIB
Bagikan Berita ini :

Pulau Penjara Korupsi

tscom_news_photo_1741934411.jpeg
(Sumber foto : )

Prabowo Subianto, dengan gayanya yang khas, kembali melontarkan gagasan yang menggugah imajinasi: penjara khusus koruptor di pulau terpencil, lengkap dengan hiu-hiu dan buaya lapar yang berjaga di sekelilingnya. Jika terwujud, ini akan menjadi yang pertama di dunia.

Atau, bagi sebagian pihak, jangan-jangan itu lebih mirip latar film aksi ketimbang kebijakan penegakan hukum? Sebab mungkin, jika proyek ini benar-benar terjadi, Hollywood dan Bollywood akan berlomba membuat film: _Escape from Corruption Island._

Gagasan ini lahir dari kejengkelan akut terhadap para pencoleng uang rakyat yang selama ini justru menikmati hidup di balik jeruji. Kata Prabowo, "Saya akan sisihkan dana buat penjara sangat kokoh di suatu tempat yang terpencil agar merekaenggakbisa keluar. Kita akan cari pulau, kalau mereka keluar biar ketemu sama hiu."

Selama ini, penjara koruptor lebih mirip resor. Sudah menjadi rahasia umum, mereka mendapat perlakuan istimewa: kamar ber-AC, WiFi, layanan katering kelas atas —bahkan ada yang menyulap selnya jadi kantor pribadi. Jika penjara di pulau terpencil ini benar-benar dibangun, jangan heran kalau ada yang bertanya: "Apa ada lapangan golfnya?"

Prabowo sendiri menegaskan bahwa tantangan terbesar Indonesia adalah korupsi. Baginya, pemerintahan yang bersih adalah keharusan. Karena itu, ia bertekad menggunakan seluruh wewenangnya untuk mengatasi penyakit ini.

Namun, sebelum kita larut dalam imajinasi pulau penjara ini, mari bertanya: apakah selama ini hukuman bagi koruptor sudah efektif? Faktanya, korupsi tetap subur. Hukuman yang dijatuhkan sering kali tidak sebanding dengan besarnya uang yang dikorupsi.

Bayangkan seseorang mencuri satu triliun rupiah lalu dihukum 10 tahun penjara. Jika ia berhasil menyisihkan setengahnya setelah dipotong biaya pengacara, suap hakim, dan setoran ke sipir, masih ada cukup dana untuk hidup mewah hingga tujuh turunan. Jadi, apa yang harus ditakuti?

Beberapa negara lain mengambil pendekatan lebih keras. Singapura, misalnya, punya resep sederhana: hukuman fisik berupa cambuk bagi koruptor kelas berat, ditambah pengembalian aset hingga ke akar-akarnya.

China lebih ekstrem: koruptor bisa menghadapi eksekusi mati, dengan biaya peluru yang ditagihkan ke keluarga mereka. Ada juga metode Shuanggui, penahanan rahasia dengan interogasi intensif yang kerap disertai tekanan fisik dan psikologis.

Saudi Arabia percaya amputasi bisa menyelesaikan banyak masalah. Selain hukuman potong tangan bagi pencuri, mereka juga tak ragu menerapkan hukuman mati. Namun, ada juga pendekatan yang lebih "mewah".

Misalnya, mereka pernah mengubah Hotel Ritz-Carlton di Riyadh menjadi penjara eksklusif bagi lebih dari 200 pangeran, menteri, dan pengusaha yang diduga korupsi —sampai mereka mengembalikan uang negara. Cara ini sukses mengembalikan lebih dari $100 miliar.

Tapi, apakah semua ini efektif? Sebagian ahli berpendapat bahwa pendekatan keras bisa memberi efek jera. Namun, yang lain menekankan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari reformasi sistemik, transparansi, dan penegakan hukum yang adil.

Lalu, apakah Pulau Koruptor adalah solusi jitu atau sekadar sensasi?

Jika memang serius ingin menindak koruptor dengan keras, mengapa tidak mulai dengan sanksi yang benar-benar membuat mereka jera? Misalnya, penyitaan seluruh aset hingga mereka hanya tersisa pakaian di badan. Atau lebih dramatis: jadikan mereka buruh kasar seumur hidup, membangun jalan yang dulu mereka anggap proyek bancakan.

Jika Pulau Koruptor benar-benar diwujudkan, pastikan tempat itu bukan sekadar surga tersembunyi bagi mereka. Tidak perlu WiFi, tidak ada katering, dan tidak ada kunjungan keluarga. Biarkan mereka bertahan hidup dengan cara primitif —berburu sendiri, mencari makan dari alam, dan merasakan apa yang selama ini mereka rampas dari rakyat.

Namun, sebelum kita sibuk membangun penjara di pulau terpencil, ada baiknya kita bertanya: apakah kita benar-benar serius memberantas korupsi, atau sekadar ingin membangun atraksi wisata baru?

*Cak AT - Ahmadie Thaha*
_Ma"had Tadabbur al-Qur"an, 14/3/2025_

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
RAMADHAN 2025 H ABDUL WACHID
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
RAMADHAN 2025 M HAEKAL
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Aroma Sedap Dwifungsi TNI

Oleh Cak AT (Ahmadie Thaha)
pada hari Jumat, 14 Mar 2025
Ah, Indonesia. Negeri yang reformasinya seperti diet —niatnya sih langsing, tapi akhirnya kembali melar juga. Dulu, rakyat berteriak menolak dwifungsi ABRI. Mahasiswa turun ke jalan, aktivis ...
Opini

AHOK, BONGKAR SAJA! BERANI JANGAN TAKUT-TAKUT, TAKUT JANGAN BERANI-BERANI

Jakarta, 14 Maret 2025-Kasus dugaan korupsi di tubuh Pertamina yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun bukan sekadar skandal biasa. Ini adalah bentuk kejahatan terstruktur yang diduga telah ...