Hariman Siregar adalah salah satu tokoh mahasiswa legendaris di Indonesia yang namanya tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974. Sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) saat itu, ia menjadi salah satu simbol perlawanan terhadap kebijakan ekonomi dan politik Orde Baru yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil.
Awal Kehidupan dan Pendidikan
Lahir pada 1 Mei 1950 di Padangsidempuan, Sumatera Utara, Hariman tumbuh dalam lingkungan yang mendorong pemikiran kritis. Ia mengenyam pendidikan dasar hingga menengah di Jakarta sebelum melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI). Meskipun berlatar belakang medis, perhatiannya terhadap isu-isu sosial, ekonomi, dan politik lebih menonjol, membawanya ke dalam dinamika pergerakan mahasiswa di era 1970-an.
Peristiwa Malari 1974 dan Kritik terhadap Kebijakan Ekonomi
Hariman dan rekan-rekannya di DM UI menjadi garda terdepan dalam menyuarakan kritik terhadap kebijakan ekonomi Orde Baru, khususnya terkait masuknya investasi asing secara besar-besaran tanpa pemerataan yang adil. Mereka melihat bahwa pembangunan ekonomi saat itu lebih menguntungkan konglomerat dan investor asing, terutama Jepang, sementara rakyat kecil tidak merasakan manfaatnya.
Demonstrasi mahasiswa yang berlangsung pada 14 Januari 1974 berujung pada kerusuhan sosial keesokan harinya. Sejumlah kendaraan dan pusat pertokoan, terutama yang berhubungan dengan Jepang, menjadi sasaran amuk massa. Pemerintah Orde Baru merespons dengan tindakan keras: banyak aktivis ditangkap, termasuk Hariman Siregar, yang kemudian dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun.
Perjalanan Pasca-Malari
Setelah bebas, Hariman memilih untuk tidak kembali ke panggung politik praktis, tetapi tetap berkontribusi dalam berbagai diskusi dan gerakan intelektual. Ia menyelesaikan pendidikan kedokterannya dan sempat bertugas sebagai dokter di Puskesmas Rawajati, Jakarta Selatan. Namun, minatnya terhadap isu sosial-politik tidak pernah pudar.
Pada era Reformasi, Hariman kembali aktif dalam berbagai forum demokrasi. Ia mendirikan Indonesia Democracy Monitor (Indemo) yang menjadi wadah diskusi dan kajian mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia. Indemo berfungsi sebagai pengingat bahwa demokrasi harus terus dikawal agar tidak kembali ke praktik otoritarianisme.
Pandangan dan Aktivitas Terkini
Dalam berbagai kesempatan, Hariman menegaskan bahwa demokrasi Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dari aspek ketimpangan ekonomi dan lemahnya kelas menengah dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Pada 15 Januari 2024, saat memperingati 50 tahun peristiwa Malari, ia menyatakan bahwa situasi demokrasi saat ini masih menunjukkan pola yang sama seperti setengah abad lalu, di mana oligarki ekonomi dan politik masih mendominasi kebijakan negara.
Di usianya yang telah memasuki 70-an, Hariman tetap menjadi figur penting dalam diskusi tentang demokrasi dan pembangunan sosial di Indonesia. Ia tidak lagi menjadi aktivis jalanan seperti di masa mudanya, tetapi pemikirannya tetap relevan dalam merespons tantangan zaman.
Hariman Siregar adalah contoh nyata bagaimana seorang aktivis mahasiswa dapat terus berkontribusi meski telah melewati berbagai fase kehidupan. Dari seorang pemimpin gerakan mahasiswa, tahanan politik, hingga intelektual demokrasi, jejak perjuangannya tetap memberi inspirasi bagi generasi muda. Peristiwa Malari menjadi bagian penting dalam sejarah perlawanan terhadap ketidakadilan, dan Hariman adalah salah satu tokoh yang memastikan bahwa semangat itu tetap hiduphinggakini.