Barack Obama bukan hanya mantan Presiden Amerika Serikat. Ia juga alumni Fakultas Hukum Universitas Harvard.
Ketika saya membaca pernyataan publik Obama yang membela kebebasan akademik dan mendukung perlawanan almamaternya terhadap kebijakan Donald Trump, saya membayangkan sosok mahasiswi seperti Laleh.
Ini tokoh yang mewakili ribuan mahasiswa internasional yang hidup dalam ketegangan nyata akibat tekanan politik.
Laleh, bayangan dari kenyataan yang lebih luas.
Ia seorang mahasiswi pascasarjana asal Iran. Suatu sore, ia duduk termenung di bawah langit Cambridge yang basah oleh gerimis.
Tangannya menggenggam laptop yang baru saja menampilkan surel dari Departemen Pendidikan Amerika Serikat.
Dalam email itu, tercantum ancaman: dana riset dan beasiswa dari pemerintah akan dibekukan. Alasannya: Harvard dianggap gagal “melawan antisemitisme” setelah kampus itu menjadi pusat protes damai terhadap kekejaman perang di Gaza.
Laleh, yang tengah menulis disertasi tentang puisi penyintas perang, bertanya dalam hati:
“Sejak kapan mempertanyakan kekerasan menjadi kejahatan?”
Tak lama kemudian, Donald Trump dalam pidatonya yang menggelegar, menyebut Harvard sebagai “sarang radikalisme sayap kiri.”
“Tak satu dolar pun dari pemerintah seharusnya diberikan kepada kampus yang membiarkan kebencian terhadap Israel. Harvard telah menjadi aib nasional.”
Bukan sekadar ancaman retoris. Pemerintah sungguh bertindak. Dan Harvard, dengan kepala tegak, melawan.
Awal 2024 menjadi titik kritis. Pemerintah AS memulai investigasi resmi terhadap Harvard University. Gelombang protes mahasiswa yang mendukung Palestina dianggap sebagai indikasi meningkatnya antisemitisme.
Akibatnya, Harvard dikenai sanksi administratif besar: pembekuan lebih dari 2 miliar dolar Amerika—dana yang mencakup beasiswa, riset medis, dan program keamanan nasional.
Trump bahkan mengusulkan agar status nirlaba Harvard dicabut. Dalam narasi politik sayap kanan, Harvard adalah simbol musuh ideologis.
Namun Harvard tak tunduk. Bersama American Civil Liberties Union (ACLU), Harvard menggugat pemerintah federal di pengadilan.
Gugatan itu menyatakan:
• Pemerintah melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang menjamin kebebasan berbicara dan berpikir.
• Dana publik telah digunakan sebagai alat tekanan ideologis.
• Tindakan ini membahayakan seluruh fondasi pendidikan tinggi yang bebas dan bermartabat.
Dalam konferensi pers, Rektor Interim Harvard, Dr. Alan Garber, berkata:
“Kampus adalah tempat bertanya, bukan tempat membungkam. Jika mempertanyakan kekerasan dianggap kebencian, maka sejarah kemerdekaan Amerika sendiri adalah kejahatan.”
Langkah Harvard tak hanya membela institusinya, tetapi seluruh prinsip kebebasan akademik di Amerika.
-000-
Dalam konteks itulah, Barack Obama bicara.
Ia tak lagi memegang jabatan formal. Namun suaranya masih menggetarkan fondasi moral bangsa. Dalam unggahan publiknya, Obama menegaskan dukungan kepada Harvard:
“Harvard telah memberi contoh bagi semua institusi pendidikan tinggi. Ia menolak upaya yang melanggar hukum dan ceroboh untuk membungkam kebebasan akademik.”
Ia tidak menyebut nama Trump secara langsung. Tapi setiap kalimatnya adalah jawaban terhadap politik pembungkaman.
Dengan tenang namun tajam, Obama berkata:
“Janji Amerika bukan ditemukan dalam ketakutan, tapi dalam keberanian. Keberanian untuk berkata: cukup, sampai di sini.”
Bagi Obama, ini bukan sekadar soal anggaran. Ini soal jati diri bangsa. Tentang siapa kita, dan nilai apa yang layak kita perjuangkan.
Pernyataan Obama menebar lima prinsip moral yang menggema:
1. “Kalian bisa membekukan dana, mencabut status, atau membuat aturan loyalitas.
Tapi kalian tak bisa membunuh ide.”
— Ide dan kebenaran tak bisa dihentikan oleh kekuasaan.
2. “Saat pendidikan menyerah demi kenyamanan, kita kehilangan lebih dari dana.
Kita kehilangan jati diri.”
— Kampus bukan tempat kompromi terhadap moral.
3. “Ini bukan hanya persoalan hukum. Ini adalah pertanyaan untuk kita semua.”
— Kebebasan berpikir adalah tugas setiap warga negara.
4. “Ketika pendidikan berubah menjadi alat kepatuhan, bukan pembebasan
- kita dalam bahaya.”
— Pendidikan harus menjadi ruang merdeka, bukan mesin politik.
5. “Diam di hadapan penindasan bukanlah netralitas. Itu adalah bentuk menyerah.”
— Keheningan di hadapan ketidakadilan adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.
-000-
Filsuf Italia Antonio Gramsci pernah menulis:
“Pertarungan ideologis terbesar terjadi di sekolah.”
Obama, lewat kalimat-kalimatnya, menjadikan Harvard sebagai arena pertarungan nilai itu.
Ia memperingatkan: jika universitas dibungkam, demokrasi akan runtuh perlahan. Jika kampus tunduk pada kekuasaan, maka ilmu dan kemerdekaan manusia ikut mati.
Pidato Obama bukan hanya seruan politik, tapi deklarasi etika. Ia mengajak kita—dosen, penulis, mahasiswa, orang tua—untuk berdiri bersama, menjaga agar kampus tetap menjadi benteng nurani dan cahaya peradaban.
Dalam peristiwa ini, Harvard bertransformasi. Dari simbol elite akademik, ia menjadi simbol moral dunia.
Dari Yale hingga Stanford, dari Oxford hingga UI, diskusi publik mencuat: apakah kebebasan akademik masih dilindungi? Atau justru menjadi sasaran ideologi negara?
Di Indonesia, kita masih ingat: banyak dosen dipecat di masa Orde Baru karena pandangan yang berbeda. Dan sejarah selalu berbicara:
Ketika kampus dibungkam, tirani berjaya. Ketika kampus melawan, peradaban bernapas.
Di setiap sudut dunia, di mana pun kampus berdiri,
pata. pencari ilmu selalu diuji oleh kekuasaan dan ketakutan.
Namun sejarah membuktikan,
di beberapa tempat, api kebebasan tak pernah padam oleh intimidasi.
Mari kita ingat, setiap kali kampus berani bertanya,
di situlah peradaban menemukan harapan baru.
Di tengah malam Cambridge yang sepi, saya kembali membayangkan Laleh. Ia menutup laptopnya setelah membaca pernyataan Obama.
Ia menatap langit yang masih kelabu, tapi dengan dada yang sedikit lebih lapang.
Harvard melawan. Obama bicara. Dan ribuan mahasiswa di seluruh dunia mulai bertanya kembali:
Masihkah kampus kita melindungi kebebasan berpikir?
Ini bukan sekadar kisah tentang Harvard dan Trump.
Ini adalah cerita tentang api yang coba dipadamkan, namun justru berkobar lebih terang.
Obama tidak sekadar membela almamaternya.
Ia membela makna pendidikan.
Ia membela hak berpikir.
Ia membela demokrasi.
Sebab jika kita diam ketika kampus dibungkam, maka kita sedang mengubur masa depan bersama.*
Jakarta, 4 Juni 2025
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #