Jakarta, 20 Juni 2025 – Di tengah gempuran perubahan iklim global, hadir satu wacana yang terdengar sederhana namun sarat makna ekologis dan ekonomis: bambu. Tanaman yang lekat dengan tradisi dan kehidupan masyarakat Asia ini kini digadang-gadang sebagai salah satu solusi alami atas krisis lingkungan.
Adalah Hashim S. Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden untuk Energi, Iklim dan Lingkungan Hidup, yang menyuarakan dengan lantang mimpinya: Indonesia sebagai Pusat Pelatihan dan Pelestarian Bambu Dunia.
“Menanam bambu bukan sekadar pekerjaan fisik, tetapi perwujudan kesadaran akan keberlangsungan hidup generasi mendatang,” ujar Hashim saat menerima sejumlah pakar bambu, termasuk Aki Jatinika Naggamihardja, Ketua Yayasan Bambu Indonesia, beberapa pekan lalu.
Kekuatan Ekologis dan Ekonomis Bambu
Bagi Hashim, potensi bambu tidak semata pada batang atau daunnya, melainkan pada ekosistem utuh yang bisa dibangun dari tanaman ini. Secara ekologis, bambu dikenal sebagai tanaman penyerap karbon dan penghasil oksigen yang sangat tinggi—bahkan lebih tinggi dibanding banyak pohon besar. Sistem perakarannya mampu menyerap air dan menahan erosi, menjadikannya ideal dalam penanganan banjir dan longsor yang kerap melanda negeri ini.
“Bambu itu luar biasa. Ia bisa tumbuh cepat, memperbaiki tanah, dan menghasilkan oksigen dalam volume besar. Ini aset kita dalam menghadapi krisis iklim,” ujar Hashim.
Namun Hashim tidak berhenti di aspek ekologis. Ia menyoroti pula potensi hilir bambu—bagaimana bambu dapat menjadi komoditas ekonomi bernilai tinggi. Di tangan teknologi yang tepat, bambu bisa menjadi bahan dasar sepatu, arang aktif, tekstil, mebel, bahkan produk kesehatan herbal.
Sayangnya, Indonesia masih tertinggal dalam hal industrialisasi bambu dibanding negara seperti China, yang telah jauh lebih maju dalam inovasi teknologi pengolahan bambu. Negeri Tirai Bambu itu mampu menjadikan bambu sebagai salah satu basis ekonomi hijau mereka, mengekspor berbagai produk bernilai tambah tinggi ke seluruh dunia.
“Inilah tantangan sekaligus peluang bagi kita,” kata Hashim. “Kita punya jenis bambu terbaik dan paling banyak. Tapi kita belum mengolahnya secara serius sebagai industri.”
Menjawab Tantangan Global, Menangkap Peluang Investasi
Menurut laporan Bamboo Global Market Report 2024, nilai pasar bambu global diperkirakan akan tumbuh pesat dalam lima tahun ke depan. Negara-negara seperti Amerika Serikat, India, Jerman, bahkan China sendiri, kini mulai melirik Indonesia sebagai lokasi investasi dan sumber pasokan bambu berkualitas. Keunggulan bambu Indonesia yang berumpun dan tahan terhadap cuaca tropis menjadi salah satu daya tariknya.
Hashim mengajak semua pihak—baik kementerian, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, maupun pelaku industri—untuk menjadikan gerakan bambu ini sebagai prioritas lintas sektor. “Kita perlu pusat-pusat pelatihan, dari hulu ke hilir: cara menanam yang baik, membudidayakan, hingga mendirikan industri bambu modern.”
Ia bahkan membayangkan Indonesia menjadi “Silicon Valley”-nya bambu dunia—tempat inovasi, riset, pelatihan, dan ekspor produk bambu terkemuka.
Bambu dan Identitas Kultural Bangsa
Tak hanya soal ekologi dan ekonomi, bagi Hashim, bambu adalah simbol kebudayaan dan sejarah perjuangan bangsa. “Lihat saja, senjata para pejuang kita—bambu runcing. Bahkan di bahasa Inggris pun, namanya tetap ‘bamboo’, tak berubah. Itu menunjukkan bahwa akar istilahnya dari Asia, dan mungkin dari Indonesia,” ungkapnya sambil tersenyum.
Dengan modal kekayaan alam, keberagaman jenis bambu, dan sejarah budaya yang kuat, Indonesia memiliki segala syarat untuk memimpin gerakan global bambu. Namun, tanpa langkah nyata, misi ini hanya akan menjadi mimpi indah.
“Sekarang saatnya kita bangkit. Dari bambu, kita bisa menyelamatkan lingkungan, membangun industri, dan memperkuat identitas kebangsaan. Mari kita jadikan bambu sebagai simbol masa depan Indonesia yang hijau, mandiri, dan berdaulat,” pungkas Hashim.
Jenis-jenis Bambu Unggulan Indonesia:
Gigantochloa apus – bahan utama kerajinan dan anyaman.
Bambusa vulgaris – cepat tumbuh, cocok untuk konstruksi ringan.
Dendrocalamus asper – dikenal sebagai bambu petung, cocok untuk kuliner dan industri berat.
Satu rumpun bambu bisa menyerap COâ hingga 12 ton/hektare per tahun.
Pertumbuhan bambu bisa mencapai 1 meter per hari, menjadikannya salah satu tanaman tercepat di dunia.
Di pasar global, nilai ekspor produk bambu diperkirakan menembus USD 90 miliar pada 2030.