Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong oleh Presiden Prabowo Subianto bukanlah sekadar keputusan politik biasa. Sebagaimana ditegaskan oleh Haris Rusly Moti, tokoh gerakan mahasiswa 1998, langkah ini merupakan bagian dari misi besar untuk merekatkan kembali jaringan sosial-politik bangsa yang tercerai-berai akibat sejarah panjang konflik, polarisasi pemilu, dan trauma politik masa lalu.
Politik Rekonsiliasi: Mengakhiri Polarisasi
Dalam sejarah 80 tahun kemerdekaan, Indonesia terlalu sering menjadi korban dari konflik internal di antara elite dan pemimpin bangsa sendiri. Konflik ini tercermin dalam benturan antara Orde Lama dan Orde Baru, hingga antara kubu Reformasi yang kerap terjebak dalam politik balas dendam. Pilpres langsung sejak 2004 juga tak lepas dari warisan luka itu, yang memperuncing fragmentasi dan menciptakan siklus perpecahan antarpemimpin.
Langkah Presiden Prabowo—yang secara simbolik dan substansial—mengunjungi rumah Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, bersilaturahmi dengan Presiden Jokowi, serta menampilkan kebersamaan dengan Gibran, Kaesang, Puan Maharani dan Bambang Pacul—adalah gestur politik yang mengandung nilai penyembuhan kolektif (healing politics). Ini bukan sekadar upaya memperkuat kekuasaan, tetapi menutup luka-luka sejarah dan memutus rantai dendam antar generasi elite.
Amnesti dan Abolisi: Jangan Hilangkan Momentum
Abolisi kepada Thomas Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto harus dilihat dalam kerangka rekonsiliasi, bukan negosiasi. Ini bukan “barter politik,” melainkan penegasan bahwa negara hadir untuk menyatukan, bukan menghukum semata. Namun, langkah ini juga tidak boleh mengaburkan pentingnya akuntabilitas dan keadilan. Momentum ini harus digunakan untuk:
1. Memobilisasi potensi sosial dan ekonomi rakyat secara inklusif dan produktif.
2. Menggerakkan semua kekuatan bangsa, dari elite politik, pemimpin agama, tokoh adat, hingga aktivis masyarakat sipil untuk membangun masa depan bersama.
Kerukunan adalah Syarat Pembangunan
Pemerintahan Prabowo-Gibran menghadapi tantangan besar: pelemahan ekonomi global, tekanan geopolitik, serta kebutuhan pembiayaan proyek-proyek strategis nasional yang sangat tinggi. Dalam konteks ini, kerukunan dan persatuan nasional bukan sekadar idealisme, melainkan syarat mutlak bagi kelancaran roda pemerintahan dan pembangunan.
Tanpa rekonsiliasi elite, stabilitas sosial terganggu. Tanpa stabilitas, kepercayaan publik dan investor sulit tumbuh. Maka, inisiatif politik rekonsiliatif yang dilakukan Dasco Ahmad dan Prasetyo Hadi ke rumah Ibu Megawati di Bali menjadi semacam "jembatan emas" untuk menyatukan kepentingan bangsa.
Penegakan Hukum: Tangkap Para Penjahat Ekonomi
Namun rekonsiliasi tidak berarti impunitas. Rakyat menuntut keadilan. Mereka membutuhkan bukti nyata bahwa negara tidak hanya menyatukan elite, tetapi juga membersihkan birokrasi dan aparat dari koruptor.
Momentum ini harus dibarengi dengan gerakan tegas dan satu langkah antara kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Prabowo harus memastikan bahwa instrumen hukum negara bekerja secara efektif dan tidak menjadi alat transaksional kekuasaan. Para penjahat ekonomi—yang merampok dana rakyat, menghisap sumber daya publik, dan memperlemah kemandirian bangsa—harus ditangkap dan diadili.
Bangun Bersama, Bukan Sendirian
Pembangunan nasional, dari sektor pertahanan, pangan, kesehatan hingga digitalisasi desa, membutuhkan dukungan fiskal dan finansial yang besar. Untuk itu, Presiden Prabowo perlu dukungan luas, baik dari elite politik, dunia usaha, hingga mitra internasional. Tapi lebih dari itu, dukungan tersebut hanya akan efektif jika kepercayaan dibangun melalui rekonsiliasi dan keteladanan.
Karena itu, kerukunan para pemimpin bukanlah tontonan politik, melainkan sumber inspirasi bagi rakyat untuk ikut bergotong royong, menyingsingkan lengan baju, membangun bangsa bersama.
Sejarah memberi kita pelajaran berharga: Indonesia bisa merdeka karena bersatu. Kini, saat kita menyongsong usia 80 tahun kemerdekaan, tantangannya bukan lagi penjajahan fisik, tapi perpecahan batin, kesenjangan sosial, dan korupsi struktural. Jalan keluarnya bukan permusuhan, tetapi rekonsiliasi yang bermartabat dan penegakan hukum yang adil.
Jika momentum amnesti dan abolisi ini bisa menjadi pintu masuk rekonsiliasi nasional, maka Prabowo akan dikenang bukan hanya sebagai presiden yang kuat, tetapi juga sebagai pemimpin yang mampu mengubur dendam, menyatukan elite, dan membangun masa depan bangsa yang tangguh dan bermartabat.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #