Insiden Pembakaran masjid oleh sekelompok aktivis yang mengatas namakan GIDI, menimbun kerumitan misteri yang belum terpecahkan. Sampai dengan saat ini persoalan tersebut masih dikaji oleh berbagai lembaga ke masyarakatan dan kelompok kelompok study kemahasiswaan.
Setidaknya ada pertanyaan yang mengemuka yang harus dijawab, di mana posisi negara pada saat insiden pembakaran itu terjadi ? Dan langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh negara sehingga dapat mencegah terjadinya insiden pembakaran itu ? Bila tidak dilakukan maka hal itu merupakan pembiaran dan kesengajaan.
Insiden pembakaran itu terjadi pada hari raya kemenangan umat Islam sedunia, hari kesucian umat Islam, hari raya pengampunan bagi umat Islam, sehingga hari itu umat Islam saling memberi dan menerima permafaan. Hari raya itu ditandai dengan shalat sunnah dua rakat dan khutbah, yang diikuti dengan gemuruh takbir dan tahmid sebagai tanda syukur bagi umat islam kembali ke fitrah.
Tentu pristiwa ini tidak saja melumuri, melukai kejiwaan kaum muslimin di Tolikara Papua, melainkan semua umat Islam di dunia, khususnya umat Islam Indonesia. Sebab umat Islam adalah ummat bersaudara.
Apabila satu muslim menghahadapi masalah, maka hal tersebut menjadi masalah bagi ksum muslimin yang lain secara internasional khususnya Indonesia. Oleh sebab itu sesuatu yang logis bila insiden Tolikara Papua menimbulkan respon berbagai fihak di berbagai tempat di tanah air.
Insiden ini tentu dirasakan menohok dan menistai rasa kebersamaan sesama umat Islam. Umat Islam sebagai kelompok yang tidak hanya mayoritas tetapi penyumbang dan pemilik saham terbesar proses perjuangan kemerdekaan dan pembentukan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Tetapi kenapa umat yang mayoritas ini justeru tidak mendapatkan jaminan serta perlindungan politik dan keamanan pada saat menjalankan ibadah shalat Idul Fitri? Peristiwa ini tentu sangat tragis, dirasakan sebagai diskriminasi keamanan bagi muslim dalam menjalankan ibadah, sesuai syariat agama yang dijamin oleh konstitusi. Lantas, dimanakah fungsi konstitusi yang bisa menjamin kenerdekaan ummat beragama menjalankan ajaran agamanya.
Insiden Tolikara Papua, tidak hanya mencoreng bangunan konsepsional kerukunan antar umat beragama di Indonesia, yang konon telah menjadi model yang dipuji dan diduplikasi oleh banyak negara di dunia, tetapi juga mencoreng wajah Indonesia di mata Internasional.
Tidak salah, kehebatan ndonesia dikenal sebagai bangsa yang damai, penyumbang perdamaian dunia, serta menjadi negara yang menangani konflik di dunia. Inseden Tolikara meredupkan prestasi gemilang yang telah diukir Indonesia di ranah internasional.
Di sisi lain, GIDI hanya semacam NGO atau Non Governance Organisation, yang mengurus agama dalam sakte tertentu. Dan GIDI terkategori NGO yang kecil, dan keberadaannya yang dominan di tanah Papua.
Tetapi kenapa negara yang begini besar, namun tak sanggup mendeteksi dan menangani setiap kemungkinan yang dilakukan oleh GIDI yang berujung pada pencederaan keberagamaan umat Islam yang pada hari yang dimuliakan oleh umat Islam di dunia?
Peristiwa di Tolikara ini menjadi contoh buruk bagi agama-agama lain, di kawasan tertentu seperti NTT, Bali dan Kalbar, yang minoritas muslim. Bisa jadi suatu saat terulang kembali insiden serupa yang memilukan itu. Negara tak berdaya, kehilangan kekuasaan, serta gagal melindungi mayoritas umat Islam ditengah tekanan dominasi minoritas Kristen. Anehkan ?
Untuk itu insiden Tolikara, tidak bisa dipisahkan dari peran negara. Mengingat negara dihadirkan dengan tujuan mulia yaitu, antara lain untuk memberikan jaminan ketertiban keamanan, kemaslahatan, kemakmuran dan kemajuan lahir dan batin setiap warga negara dari Sabang sampai ke Merauke. Negara memberikan perlindungan setiap pemeluknya untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan agama dan keyakinannya.
Tetapi secara empiris dalam konteks Tolikara Papua, negara memang tidak berperan untuk menciptakan keamanan bagi muslim saat menjalankan ibadahnya. Di sisi lain negara memiliki aparatur intelijen yang memantau setiap perkembangan yang patut dicurigai.
Negara punya aparat keamanan dari Mabes Polri, sampai ke Polsek. Negara juga aparat pertahanan dari mabes TNI sampai ke Koramil. Dan negara punya perangkat aparatur pemerintahan dar Presiden sampai Ketua RT. Apakah semua instrumen tersebut mengalami disfungsional, disorientasi, sehingga tidak bisa memantau apa yang semestinya yang sedang dan akan terjadi?
Bila kondisi yang demikian adanya apakah negara ini masih eksis, dan masikah ada manfaat bagi rakyat? Jika negara tidak berperan untuk menciptakan stabilitas publik, maka kita patut menggugat, mempertanyakan eksistensi, fungsi dan peran negara.
Jangan-jangan negara turut andil untuk menciptakan instabilitas politik di Tolikara? Membakar masjid pada hari besar umat Islam sehingga menyulut bagai bola liar yang memicu kerusahan sosial di tempat yang lain?
Dalam konteks mikro simbolisasi negara ada pada Presiden sebagai kepala negara. Apakah Presiden selaku kepala negara tidak mencermati kondisi kebangsaan kita secara keseluruhan sampai pada level yang paling bawah?
Sebagai orang awam rasanya tidak logic jika seorang Presiden tidak memantau perkembangan perkembangan di masyarakat. Presiden mestinya melakukan koordinasi dan meminta masukan dari semua jajaran yang bertanggung jawab, dan merumuskan langkah kebijakan pengaman yang tepat dan efektif untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban secara nasional pada hari besar umat Islam.
Bila kebijakan ini dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, maka tentu ada gerakan siaga nasional dari pusat sampai ke kampung kampung yang terpencil. Dengan tidak adanya kebijakan pengamanan nasional pada hari lebaran, maka patut dicurigai, negara ikut andil terjadinya insiden Tolikara, Papua.
Negara dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo dapat menjadi tertuduh atas pembiaran terjadinya insiden Tolikara, Papua yang mencederai rasa keberagamaan 90 persen muslim Indonesia.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #tolikara #MHR. Shikka Songge (Ketua Istana Watch) #jokowi