JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli meminta Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basyir untuk menetapkan biaya administrasi maksimal untuk pulsa listrik. Sebab, kata Rizal, masyarakat pelanggan pulsa listrik sistem prabayar sering kali mendapat pulsa listrik jauh lebih rendah daripada nominal yang dibeli.
"Mereka membeli pulsa Rp 100.000, ternyata listriknya hanya Rp 73.000. Kejam sekali, 27 persen kesedot oleh provider yang setengah mafia," kata Rizal, Senin (7/9/2015).
Pernyataan Menko Rizal tersebut dinilai keliru oleh pengamat ekonomi Faisal Basri. Dia mempertanyakan hitung-hitungan yang disampaikan oleh Rizal Ramli.
"Entah dari mana angka Rp 73.000 itu. Tarif listrik 1.300 VA untuk golongan R1-1.300 VA Rp 1.352 per kWh. Jika pelanggan golongan R1-1.300 VA membeli token (prabayar) Rp 100.000, berapa kWh yang didapat?," kata Faisal dalam blog pribadinya yang dikutip TeropongSenayan, Selasa (8/9/2015).
Dia menjelaskan, jika masyarakat membeli pulsa Rp 100 ribu maka pelanggan harus membayar ongkos administrasi bank, dan kalau menggunakan BCA besarnya Rp 3.000. Jadi sisa uang untuk membeli listrik Rp 97.000.
"Transaksi di bawah Rp 300.000 tidak kena bea meterai. Pelanggan juga harus membayar pajak penerangan jalan (PPJ) sebesar 2,4 persen (untuk Jakarta) dari jumlah kWh yang dibayar. Jadi PLN hanya menerima Rp 97.000/1,024 yaitu sebesar Rp 94.726," paparnya.
"Jumlah kWh yang didapat pelanggan sebesar Rp 94.726/Rp 1.352 menjadi 70 kWh. Jadi uang pelangan hanya susut 5,3 persen untuk biaya administrasi bank dan PPJ, bukan 27 persen seperti yang ditengarai oleh Pak Menko disedot mafia."
Menurut Faisal, dari hitung-hitungan di atas, agaknya tak ada pihak lain (mafia atau setengah mafia) yang menikmati uang pelanggan prabayar.
"Anehnya, mengapa Dirjen Kelistrikan dan Dirut PLN yang hadir pada pertemuan dengan Pak Menko diam saja?," tuntas dia.(yn)