Opini
Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR-RI) pada hari Rabu, 16 Sep 2015 - 19:15:14 WIB
Bagikan Berita ini :

Bendahara Ketakutan, Hukum Jadi Hantu Dana Desa

39images (5).jpg
Djoko Edhi S Abdurrahman (Sumber foto : Istimewa)

Aneh, Dana Desa masih belum punya pendampingan. Padahal di awal proyek, empat bulan lalu, Mendagri dan Menteri Desa masih cekcok rebutan pendampingan. Marwan, Menteri Desa sudah membentuk tim untuk merekrut anak-anak S1 (sarjana strata 1) dari PMII. Saya ikut di Bandung dalam proses itu.

Lalu, Mendagri bersikeras memasang eks PNPM untuk pendampingan yang didominasi kader PDIP. Dua kebijakan itu crash. Kok sekarang belum juga ada pendampingan?

Kebijakan crash kedua, di struktur kabupaten/kota. Depdagri mengklaim, mereka yang berkuasa di mana Camat adalah perangkat Depdagri. Sementara Menteri Desa juga mengklaim karena ia kuasa pengguna anggaran, dan desa diatur oleh undang-undang sebagai kewenangan Menteri Desa.

Crash berjalan berbulan-bulan. Saya temukan ada kelompok yang sudah memperoleh surat perintah dari Menteri Desa, tapi tak ada pos keuangannya.

Dana desa itu sangat penting bagi pertahanan ekonomi yang melambat, serta economic recovery. Dana ini dimasukkan ke paket deregulasi dan debirokratisasi Presiden Jokowi. Mengutip Kompas, Kemenkeu sudah mentransfer 80%, yaitu Rp 16,5 triliun. Tapi baru 11,5% atau Rp 1,9 triliun yang sudah disalurkan. Makanya kian lambat perekonomian.

Kalau tak ada penyelesaian masalah di dana desa itu, Surat Kesepakatan Bersama (SKB) itu takkan terbit. SKB menurut saya, adalah kesepakatan risk sharing. Waktu saya diwawancara oleh RCTI dua hari lalu, dalam assignment reporternya, alasan utama, para bendahara menolak mencairkan sekalipun dana desa itu sudah sampai ke desa: bendaharanya ketakutan!

Tujuannya memang sudah berbeda dengan tujuan awal, yakni untuk membangun desa. Kini oleh paket deregulasi dan debirokratisasi, tujuannya diubah menjadi economic recovery, melalui akselerasi (percepatan). Jelas ada resiko di situ karena dipaksakan. Loses cukup jelas. Satu-satunya jalan, harus risk sharing antara Menku, Mendagri, dan Menteri Desa.

Kasihan para kepala desa yang tak tahu apa-apa, sekonyong-konyong mereka dicokok polisi dan jaksa di ujung proyek itu, dan lalu didakwa sebagai koruptor, padahal karena dipaksakan melalui program akselerasi ekonomi.

Jadi, karena bendaharanya ketakutan, rekruitment pendampingan tak dilakukan, dan minta pemerintah yang mengadakan. Tanpa pendampingan, mereka tak bisa bekerja.

Ketika diubah menjadi akselerasi economic recovery, semua menjauh. Di Permendes yang lama, pencairan dan aplikasinya ketat. Saya belum baca yang baru. Dan juga versi debirokratisasi.

Jika idenya mantan PNPM jadi pendampingan, tampak losesnya minimal 43%. Yakni dari keberhasilan PNPM. Padahal tugas PNPM di dana desa itu berbeda dengan PNPM yang cuma sebatas membangun partisipasi, sedangkan untuk dana desa, membangun seutuhnya.

Bertanya reporter itu, apa jalan keluarnya? Saya jawab, Pertama, gunakan UU Administrasi Pemerintahan. Itu akan mengurai mana "kesalahan" (administratif), mana "delik" (kejahatan). Jika terdapat laporan penyimpangan, pengawasan terendah, seperti Irwilda, turun. Diaudit. Baru diserahkan, apakah risk sharing atau ke pidana.

Kedua, bikin aturan main kelompok kerja, sehingga jika terjadi mis management, tidak langsung ke pidana (tort), melainkan paling tinggi ke perbuatan melawan hukum (Onrechtmatig HD) sehingga kerugian keuangan negara bisa diganti.

Ketiga, gunakan lawyer utk kuasa hukum para kepala desa, sehingga mereka bisa membantu mengurai masalah hukumnya menghadapi polisi dan jaksa. Tapi biaya untuk lawyer, harus ditanggung oleh kabupaten/kota.

Keempat, UU Administrasi Pemerintahan itu di-breakdown menjadi Keputusan Kapolri (Skepkapolri) dan Jaksa Agung. KPK tak perlu, karena jumlah dana adalah kerah putih di luar kategori KPK. Yaitu, kurang dari Rp 10 miliar. Dengan begitu, dapat melindungi kepala desa, terutama di pegunungan, pesisir, dan pedalaman, yang relatif tak paham manajemen. Mereka pasti mengalami culture shock, mis management, dan mens rea (niat jahat).

Tampaknya Menpan RB sedang menyiapkan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tentang sanksi UU Administrasi Pemerintahan. PP (peraturan pemerintah) itu akan melindungi pejabat publik dari kriminalisasi dan dugaan penyalahgunaan wewenang (detournament du pavoir dan kekuasaan (exccess di pavoir), termasuk kepala desa.

PP itu nantinya melindungi terlapor tak bisa diperiksa oleh hukum, sebelum diperiksa oleh inspektorat. Namun demikian, menurut saya, untuk dana desa, harus tetap Skep Kapolri dan Jaksa Agung.

Itu kalau dana desa mau diakselerasi menjadi pemulihan ekonomi tanpa gejolak hukum berarti. Buntut masalah, adalah kesiapan inspektorat dalam mengurai delik dan kesalahan administrasi yang harus diawasi oleh Bawasda dan DPRD.

Saat ini, sekitar Rp 270-an triliun dana pembangunan parkir di perbankan. Tak dicairkan karena pejabat publiknya ketakutan. Kian lama duit itu parkir, kian rendah penyerapan pasar, kian rendah daya beli dan daya saing, kian sulit penyerapan naker, kian lambat arus uang, kian tertekan pertumbuhan ekonomi, kian lama pemulihan ekonomi.

Dalam kondisi itu, hukum tak lagi menyumbang kesejahteraan, melainkan menderma depresi, stress, dan ketakutan. Ini tak benar. Sudah keluar dari jargon hukum: tertib hukum memberikan kesejahteraan!(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #djoko edhi  #krisis  #dana desa  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Tidak Ada Kerugian Negara Dalam Pemberian Izin Impor Gula 2015: Ilusi Kejagung

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Senin, 04 Nov 2024
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong telah menyalahgunakan wewenang atas pemberian izin impor Gula Kristal Mentah tahun 2015 kepada perusahaan swasta PT AP, sehingga merugikan keuangan ...
Opini

Paradoksnya Paradoks

Ketika Prabowo Subianto berbicara tentang pentingnya pemerintahan yang bersih dan tegaknya keadilan di Indonesia, semangatnya tampak membara. Gema suaranya seolah beresonansi dengan berbagai tokoh ...