JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai janggal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi mengenai izin tertulis untuk memeriksa anggota legislatif pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
ICW, dalam siaran persnya, hari ini, Minggu (27/9/2015) menyebut putusan yang ditetapkan Selasa (22/9) itu diajukan untuk uji materi karena penegak hukum harus meminta izin tertulis kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebelum memeriksa seorang anggota legislatif yang tersangkut perkara pidana.
MK justru memutuskan penegak hukum harus mendapatkan izin tertulis dari Presiden sebelum memeriksa anggota legislatif dalam sebuah perkara pidana.
ICW menilai putusan MK ini langkah mundur dalam penegakan hukum di Indonesia dan bertentangan dengan semangat reformasi yang mengamanatkan terjaganya prinsip kesamaan di depan hukum dan peradilan yang independen.
Menurut ICW, putusan MK itu telah keluar dari petitum yang dimohonkan. Pemohon uji materi, Supriyadi Eddyono Widodo dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Hukum Pidana, memohon agar kewajiban mendapat izin dari MKD digugurkan. Tapi MK justru memunculkan norma baru dalam proses pemeriksaan anggota legislatif yakni, persetujuan tertulis dari Presiden, sesuatu yang tidak dimohonkan oleh pemohon.
ICW seperti dilaporkan Antara menilai putusan itu berpotensi menimbulkan ketegangan dan kegaduhan politik baru karena Presiden berpeluang menyalahgunakan wewenang itu untuk melindungi koalisi dan menyerang oposisi.
Kejanggalan lain menurut ICW adalah jarak antara rapat pemusyawaratan hakim dalam membahas permohonan dengan sidang pembacaan putusan begitu dekat.Rapat pemusyawaratan hakim dilakukan pada 20 November 2014 sedangkan putusan dibacakan pada 22 September 2015.
ICW menilai waktu yang terpaut jauh itu perlu dipertanyakan karena itu berarti tidak semua hakim MK yang mengikuti rapat permusyawaratan hakim turut memutus pengujian permohonan itu. (iy)