Selain peneliti dari perguruan tinggi yang bertradisi mengkaji Indonesia seperti SOAS dan Universitas Leiden, Belanda, hadir pula peneliti dari University of Southern California, Los Angeles serta kritikus asal Jakarta yang menyajikan penelitiannya tentang kondisi kritik film di Indonesia.
Penggagas acara, Dr. Ben Murtagh dari SOAS, mengatakan selain untuk membangun komunitas pengkaji film, workshop juga bertujuan sebagai forum bertukar pendekatan dalam mengkaji film Indonesia yang memiliki tradisi yang istimewa.
"Beberapa peneliti mengkaji tentang praktek menonton film di Indonesia dari waktu ke waktu," kata Ben Murtagh, "termasuk informasi tentang sejarah awal peredaran film di Indonesia dan peredaran film di luar bioskop."
"Satu tema yang terus muncul adalah bagaimana reformasi 1998 mempengaruhi cara kita memahami perkembangan film Indonesia dalam sejarah -pertanyaan seperti perubahan dan keberlanjutan dalam budaya dan industri film sendiri- yang muncul sejak jatuhnya Orde Baru," kata Ben lagi.
Dalam kesempatan itu, SOAS juga menyelenggarakan pemutaran film-film Indonesia kontemporer dan menjadi tuan rumah bagi acara tahunan untuk mempromosikan seni dan budaya Indonesia di London, Indonesia Kontemporer yang dikelola sebuah lembaga nirlaba ArtiUK.com.
Selain film pemenang FFI tahun lalu, Cahaya dari Timur: Beta Maluku karya Angga D. Sasongko, diputar pula Tabula Rasa karya Adriyanto Dewo dan film dokumenter tentang film laga Indonesia 1970-80-an, Garuda Power: The Spirit Within buatan sutradara Prancis, Bastian Meiseronne. (iy/bbc)