Opini
Oleh Haris Rusly (Aktivis Petisi 28) pada hari Selasa, 06 Okt 2015 - 15:38:53 WIB
Bagikan Berita ini :

Perang Saling Kunci Antara Poros Kapitalisme Amerika-Inggris vs China-Rusia

74IMG-20150908-WA0002_1441695869636.jpg
Haris Rusly, Aktivis Petisi 28 (Sumber foto : Istimewa)

Ada apa dengan gejolak ekonomi yang sedang melanda hampir sebagian besar negara di dunia saat ini ? Patut kita cermati karena krisis yang berlangsung secara "snowball" saat ini diperkirakan berlangsung dalam tempo yang cukup panjang.

Berbeda dengan cakupan krisis yang terjadi tahun 1998 yang hanya melanda Korsel, Thailand dan Indonesia. Sementara krisis yang terjadi saat ini jauh lebih mengancam karena melandaA hampir sebagian besar negara-negara di dunia yang menjadi mitra dagang terpenting Indonesia, seperti China, Jepang, Rusia, Eropa, Amerika, Timur Tengah hingga Asia Tenggara.

Berbeda pula dengan krisis yang terjadi tahun 1998 juga tahun 2008 yang hanya mengalami krisis finansial dan krisis over produksi yang menjadi "penyakit alamiah" dari kapitalisme, biasanya terjadi "surprising" atau "kejutan" di pasar saham yang didorong oleh spekulasi, namun biasanya berlangsung dalam tempo yang tidak panjang.

Sementara krisis yang terjadi saat ini diperkirakan jauh lebih berat dan dapat berlangsung dalam tempo yang relatif panjang. Karena selain dipicu oleh "penyakit alamiah" kapitalisme (krisis mata uang dan over produksi) yang didorong oleh spekulasi di pasar saham, juga disebabkan oleh perang saling kunci (gridlock).

Saling kunci antara negara-negara kapitalis tua (Inggris, Amerika, dll.) dengan dua negara bekas negara komunis yang saat ini tumbuh menjadi negara kapitalis baru, Rusia dan China, yang menghendaki perubahan pengaturan tatanan ekonomi dan politik global yang saat ini dikendalikan sepenuhnya oleh Inggris, Amerika dan sekutu.

Krisis saat ini dapat kita katakan sebagai krisis sistem pengaturan kapitalisme global, karena belum tercapainya konsensus antara poros kapitalisme Amerika-Inggris dengan poros kapitalisme China-Rusia yang menghendaki reformasi atau perombakan terhadap kesepakatan Bretton Woods, suatu sistem ekonomi yang berkaitan dengan pengendalian tatanan ekonomi dan politik dunia pasca perang dunia II.

Sebagai ilustrasi, pada tanggal 1-22 Juli 1944, di sebuah kota bernama Bretton Woods, New Hampshire berlangsung pertemuan antara AS (AS) dan Inggris, beserta 44 negara negara aliansi AS dan Inggris serta satu negara netral (Argentina), yang dihadiri juga oleh ekonom John Maynard Keynes (Inggris), yang melahirkan tiga pilar Bretton Woods System.

Tiga pila itu, yaitu: Pertama, pengaturan moneter, melalui IMF (International Monetary Fund) untuk meliberalisasi sektor keuangan dan mengatasi permasalahan utang negara. Kedua, pengaturan dan meliberalisasi perdagangan dunia, melalui GATT, sekarang WTO (World Trade Organization), yang menghendaki adanya perdagangan yang lebih bebas baik dalam sektor barang maupun modal.

Ketiga, pengendalian rekonstruksi pembangunan, memperbaiki keadaan perekonomian negara pasca perang dengan mendirikan IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) yang kemudian beralih nama menjadi World Bank.

Sistem Bretton Woods tersebut disepakati menggunakan fixed exchange rate dengan menggunakan standar dollar-emas sehingga secara efektif mengakhiri sistem standar emas yang umum digunakan sebelumnya di era merkantilisme yang proteksionis.

China dan Rusia sebagai negara kapitalis baru tidak sedang bertarung membangun sistem ekonomi politik global di luar dari sistem kapitalisme yang menghendaki liberalisasi di sektor keuangan dan perdagangan dunia.

Yang dikehendaki oleh China dan Rusia adalah reformasi atau perombakan tatanan dan otoritas kapitalisme global yang selama 70-an tahun bersandar pada sistem Bretton Woods, yang berkaitan dengan perubahan otoritas pengendalian ekonomi dan keuangan dunia yang selama ini dikendalikan oleh Inggris dan Amerika melalui lembaga multilateral IMF, WB dan WTO.

Pertarungan untuk mengubah tatanan dan otoritas kapitalisme global yang bersandar pada kesepakatan Bretton Woods tersebut ditandai oleh dua gejala yang sedang berlangsung saat ini.

Pertama, lahirnya sebuah bank pembangunan internasional baru senilai 100 milyar dolar yang didukung oleh negara-negara berkembang yang diluncurkan di Shanghai, China, yaitu Bank Pembangunan Baru (New Development Bank atau NDB) yang diresmikan setelah tiga tahun dibahas dalam berbagai perundingan di antara negara-negara anggota BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan).

Peluncuran NDB dilakukan tidak lama setelah pembentukan sebuah bank multilateral lainnya, yaitu Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB), yang juga diprakarsai oleh pemerintah China. New Development Bank (NDP) dan Bank Pembangunan Infrastruktur Asia (AIIB) adalah sebuah upaya tandingan terhadap Bank Dunia, IMF dan ADB, yang dikendalikan oleh Amerika, Inggris, Uni Eropa dan Jepang.

Kedua, keinginan China untuk menjadikan yuan (renminbi) sebagai alat tukar internasional yang sah diakui Dana Moneter Internasional (IMF). Sejauh ini yang telah masuk ke dalam basket currency (keranjang mata uang) IMF adalah dollar AS, euro Uni Eropa, yen Jepang, dan poundsterling Inggris. Dalam istilah formal IMF, keranjang mata uang disebut sebagai special drawing right (SDR).

Secara praktis sebagai SDR, yuan dapat diakui sebagai denominasi cadangan devisa hingga alat transaksi IMF dalam operasionalnya. Namun, hingga saat ini, Amerika dan Jepang melalui IMF masih tidak menyetujui memasukan yuan sebagai sebagai SDR.

Tentu berbeda juga dengan perang dingin jilid satu yang ditujukan untuk memperebutkan pengaruh ideologi antara kapitalisme liberalisme versus komunisme etatisme. Berbeda juga dengan perang dunia I dan II yang disebabkan oleh perebutan wilayah jajahan untuk eksploitasi SDA.

Pertarungan untuk memperluas pengaruh masing-masing poros kapitalisme atau mengunci untuk melemahkan poros kapitalisme yang lain, yang saat ini memicu melemahnya ekonomi China yang turut berdampak pada melemahnya ekonomi sejumlah negara berkembang yang menjadi mitra dagang terpenting China, seperti Indonesia dan Malaysia.

Jatuhnya seluruh harga komoditas terpenting di dunia hanyalah akibat dari melemahnya pertumbuhan ekonomi. Demikian juga konflik-konflik bersenjata yang dilancarkan secara parsial dan proxial di sejumlah wilayah Timur Tengah, juga tercapainya perundingan nuklir dengan Iran, dapat saja ditafsirkan untuk tujuan melemahkan atau mematikan rantai pasar industri dan pasar infrastruktur, juga melemahkan pasokan energy yang mem back up ekonomi China di Timur Tengah dan Afrika.

Perang dan saling kunci antara dua poros negara kapitalis tersebut tentu berbeda dengan perang dingin jilid I yang memperebutkan pengaruh ideologi, antara kapitalisme liberalisme versus komunisme.

Yang menjadi komoditi yang dipasarkan pada perang dingin jilid I adalah ideologi, atau pandangan atau "kata-kata" yang bertujuan mengubah pandangan hidup sebuah bangsa. Instrumen yang bekerja untuk memasarkan ideologi adalah partai politik atau organisasi masyarakat sipil.

Sementara perang antara dua poros kapitalisme yang berlangsung saat ini ditujukan untuk mereformasi atau merombak pengaturan otoritas kapitalisme global. Otoritas sangat penting bagi setiap poros kapitalisme, baik poros Inggris-Amerika maupun poros China-Rusia.

Tujuannya untuk memudahkan ekspansi perebutan dan perluasan pasar infrastruktur, pasar energi, pasar industri, pasar pangan, dan juga penguasaan sektor energi dan keuangan dunia di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.

Instrumen yang beroperasi pada perang saat ini bukan Partai Politik atau Ormas, tapi korporasi multinational yang ditopang oleh sebuah sindikat intelijen yang digerakan oleh setiap poros.

Ujung dari pertarungan yang berlangsung secara snowball saat ini bisa saja tercapai konsensus baru dalam pengaturan otoritas kapitalisme global, yang melahirkan tatanan kapitalisme global yang melibatkan peran China dan Rusia sebagai sebagai otoritas baru.

Namun, bisa saja terjadi gesekan bersenjata, yang berunjung pada Tiji Tibeh (Mati Siji Mati Kabeh), sebagaimana yang terjadi pada perang dunia II, karena tidak tercapainya konsensus antara negara-negara kapitalis dalam pembagian wilayah jajahan.

Catatan penulis untuk kita para pemuda yang akan meneruskan masa depan bangsa, untuk selalu ingat dan waspada. Namun, bila kita memakai kaca mata kuda dalam melihat situasi ekonomi politik saat ini, tidak jeli dan tidak teliti dalam mengamati perkembangan nasional dan global, akan menyebabkan kita gagal melihat ancaman dan tantangan nyata yang sedang dihadapi.

Gagal mengenali musuh karena trauma pada episode sejarah yang silam, bisa menyebabkan kita lengah dan membiarkan musuh atau ancaman sejati mendapatkan tempat yang leluasa untuk beroperasi menguasai dan mengedalikan dan menduduki negara kita.(*)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #haris  #imf  #kapitalisme  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...