JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pengamat Politik Ekonomi Global Ichsanudin Noorsy mengatakan, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk memperpanjang kontrak karya operasi pertambangan PT Freeport di Papua.
Karena itu, kata dia, jika Freeport masih ingin beroperasi di Papua pasca tahun 2021, maka pemerintah Indonesia harus menegaskan opsi perubahan kesepakatan dengan perusahaan Amerika tersebut.
"Gini aja. Syarat-syarat yang pernah diajukan dulu oleh Freeport pada tahun 1967, itu selayaknya sudah berubah karena ini udah tahun 2015. Jadi sekarang ini udah abad 21. Bukan pertengahan abad 20. Dulu Freeport kan masuk di pertengahan 20. Sekarang di dekade awal abad 21. Dan itu seharusnya berubah," ujar Noorsy kepada TeropongSenayan di Jakarta, Senin (26/10/2015).
Noorsy menerangkan, kerjasama dalam bentuk kontrak karya sudah sangat merugikan Indonesia. Sejak tahun 1967, Noorsy menjabarkan, pemerintah hanya mendapatkan royalti 1 persen dari keseluruhan keuntungan pertambangan yang dikelola Freeport di Indonesia.
Selain itu, kata Noorsy, selama ini Freeport memiliki kewenangan dan kebijakan secara penuh bagi pengelolaan pertambangan dengan nol proteksi dari pemerintah.
"Nggak layak lagi royalti sebegitu-begitu aja (1 persen bagi pemerintah Indonesia). Karena itu tidak layak lagi sistem kotrak karya. Harus berhenti kontrak karya, karena terbukti kontrak karya itu dalam hitung-hitungan yang dilakukan merugikan," ujarnya.
Noorsy menggambarkan, ada tiga hal paling fundamental yang perlu diajukan pemerintah terhadap Freeport jika ingin memperpanjang kontraknya. Ketiga hal tersebut setidaknya dapat menjadi standar minimal dari pemerintah dalam menunjukkan kedaulatan Indonesia bagi sumber daya alam yang dimilikinya.
"Pertama, selayaknya menjadi bagi hasil (tidak dalam bentuk kontrak karya seperti selama ini). Kalau bagi hasil, maka sehatnya jangan jatuh (pengelolaannya) ke PT ANTAM. Bikin BUMN sendiri," ujar dia.
Kedua, tidak layak lagi Freeport semena-mena terkait lingkugan hidup. Patuhi semua ketentuan tentang bagaimana mengelola lingkungan hidup, bagaimana seharusnya seseorang menjadi pemilik perusahaan atau negara menjadi pemilik perusahaan. Dan negara harus mengetahui mesti melakukan apa terkait Freeport tersebut.
Ketiga, baik pemerintah dan Freeport harus mempunyai tanggung jawab membangun yang namanya Papua, terutama Timika, agar timbul rasa keadilan.
"Jangan Timika ini dijadikan tempat mengeruk emas dan uranium, tapi kemudian Timika ditinggali begitu aja. Ditinggali penyakit," paparnya.(yn)