JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Mungkin tidak banyak yang tahu, sejarah pembangunan gedung DPR/MPR ini. Dulu, oleh Presiden Soekarno gedung itu dibangun untuk penyelenggaraan Conference New Emerging Force (Conefo), sebuah kekuatan baru untuk menandingi PBB.
Bahkan, Soekarno ingin agar gedung itu lebih baik dari markas PBB di New York atau Juga harus lebih bagus dari People Palace di Beijing. Saat itu Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No. 48/1965 dan menugaskan Soeprajogi sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) dan Peraturan Menteri PUTL No. 6/PRT/1965 tentang Komando Pembangunan Proyek Conefo.
Sebelum membangun gedung tersebut, Bung Karno menggelar sayembara gambar dan rancangan gedung Conefo tersebut. Pemenangnya dari Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik yang dipimpin Soejoedi Wirjoatmodjo, arsitek jebolan Technische Universitat Berlin Barat. Kemudian rencangan itu ditetapkan dan disahkan presiden pada 22 Februari 1965.
Tak lama kemudian pada awal Maret 1965 dimulai pelaksanaan pembangunan di bawah komado "Proyek Ganefo". Pemancangan tiang pertama dilakukan pada tanggal 19 April 1965. Untuk mempercepat penyelesaian bangunan tersebut, Bung Karno mengontak Uni Soviet dan RRC guna membantu pendanaan. Beberapa kapal pengangkut bahan bangunan berdatangan dari RRC.
Karena Bung Karno ingin cepat, maka pembangunan gedung Conefo pun dipacu. Akhirnya, pro dan kontra bermunculan terhadap rencana tersebut. Bahkan sampai-sampai royek itu disebut sebagai Megalomania Soekarno. Selain itu harus selesai dalam waktu satu tahun karena Conefo akan diselenggarakan akhir tahun 1966. Namun sayang proyek ini harus mandeg, lantaran terjadi peristiwa G 30 S/PKI pada 1965.
Pada 9 November 1966, Soeharto, sebagai ketua Presidium Kabinet Ampera, menginstruksikan untuk melanjutkan proyek gedung Conefo. Bedanya, gedung diubah peruntukannya, yaitu sebagai gedung DPR/MPR. Saat itu, DPR/MPR bermarkas di kawasan Lapangan Banteng.
Secara bertahap, satu per satu gedung yang sudah selesai, diserahkan ke Sekretariat Jenderal DPR/MPR. Gedung Utama Konferensi pada Maret 1968. Gedung Sekretariat dan Balai Kesehatan pada Maret 1983. Berikutnya, Gedung Perjamuan pada 1983. Setelah itu beberapa bangunan dibangun menyusul. Gedung-gedung itu diberi nama dengan bahasa sanskerta, yaitu cikal bakal bahasa jawa kuno. Seperti, Grahatama, Lokawirasabha Tama, Ganagraha, Lokawirasabha, Pustakaloka, Grahakarana, dan Samania Sasanagraha.
Sekjen DPR/MPR Afif Ma’roef ketika itu, menjelaskan, ada usulan agar nama-nama gedung itu diganti dengan bahasa Indonesia. Penggagasnya antara lain anggota DPR/MPR Salim Said lewat petisi yang ditandatangani sejumlah anggota Dewan. Akhirnya, Dewan menunjuk Wakil Ketua DPR Fatimah Achmad untuk memimpin tim penggantian nama gedung.
Pada 14 Desember 1998, resmilah gedung-gedung itu berganti nama. Grahatama menjadi Gedung Nusantara, Lokawirasabha Tama (Gedung Nusantara I), Ganagraha (Gedung Nusantara II), Lokawirasabha (Gedung Nusantara III), Pustakaloka (Gedung Nusantara IV), Grahakarana (Gedung Nusantara V), Samania Sasanagraha (Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI), dan Mekanik Graha (Gedung Mekanik). (b)