TERTANGKAPNYA Fuad Amin (Senin, 1/12/14) mungkin mengejutkan banyak pihak, tapi bagi masyarakat Bangkalan sendiri itu tak mengagetkan. Apalagi bagi aktivis penggiat anti korupsi dan Pro Demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana tindak-tanduk tokoh ini selama memimpin Kabupaten Bangkalan dua periode.
Kini posisi Bupati itu “diwariskan” pada putranya Moh. Makmun Ibnu Fuad (Ra Momon) dan dia sendiri menjadi ketua DPRD nya. Sangat mencolok sebagai upaya politik dinasti. Tapi di Bangkalan siapalah yang “berani” mengganggu gugat. Fuad merupakan cucu ulama besar pada Abad 19 Syaikhona Mohammad Kholil (wafat 1925)yang juga dikenal sebagai guru dari pendiri-pendiri NU.
Dengan posisi ini beliau menempati kasta tertinggi di daerah paling barat pulau Madura ini. Dengan basis sosiologis yang agraris dan dunia pendidikan masyarakatnya yang ditopang pesantren, maka hampir tak ada tokoh lokal yang memiliki karisma yang menyamainya.
Kepiawaiannya meramu kekuatan sosial di luar pesantren dalam langkah-langkah politiknya menjadi lengkaplah kehebatannya untuk menggenggam struktur puncak dari sistem politik di Bangkalan.Kawasan ini adalah satu dari empat kabupaten di pulau Madura.
Walaupun secara geografis merupakan kabupaten terdekat dengan pusat provinsi Jawa Timur, Surabaya, tapi keterbelakangannya justru mengalahkan dua kabupaten sebelah timur pulau. Hanya satu tingkat lebih tinggi dibanding Sampang. Memang secara historis, dua kabupaten timur Pamekasan dan Sumenep lebih dahulu tersentuh peradaban. Sejak jaman kerajaan Singosari Sumenep dan Pamekasan sudah menjadi bagian dari catatan sejarah.
Sayangnya akses menuju Madura yang dulunya dilalui dari Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo berpindah melalui Surabaya. Itu artinya, Bangkalan adalah pintu menuju Pulau Madura. Lantas, apa penyebab keterbelakangan ini?
Penulis melihat, dengan struktur masyarakat yang masih tergantung terhadap kelompok elitnya (patron-klien), keterlambatan kaum elit untuk membuka diri pada perubahan adalah penyebab terjadinya sumbatan pada aliran kemajuan. Berbeda dengan pusat-pusat pendidikan di pulau Jawa yang sudah mengirim santri-santrinya untuk belajar pada institusi modern. Sejak awal Bangkalan tetap bergeming dan baru pada dekade terakhir ini terjadi jalinan antara institusi pendidikan tinggi modern dengan institusi pendidikan tradisionalnya.
Walaupun tak bisa dipungkiri banyak anak-anak muda yang mengambil pendidikan modern namun itu kebanyakan ditempuh oleh mereka yang sudah lama 'eksodus' dari Bangkalan, atau bukan bagian dari keluarga elit yang menjadi panutan masyarakat luas. Akhirnya mereka lebih memilih berkiprah di luar daripada berjibaku dengan sistem sosial lama.
Keterlambatan inilah yang membuat masyarakat Bangkalan seperti terperanjat saat reformasi membuka kesempatan pada tokoh-tokoh lokal untuk ikut mencicipi kekuasaan. Kesempatan politik ini segera dimanfaatkan tanpa adanya kesadaran tentang apa substansi dari demokrasi. Demokrasi semata-mata hanya dimaknai sebagai pintu masuk untuk bisa berkuasa tanpa mengetahui nilai-nilai mendasar yang melekat padanya. Konsolidasi lembaga-lembaga demokrasi yang terkait dengan kekuasaan segera terbangun minus penataan di level masyarakat sipilnya. Pada gilirannya, kekuasaan demokratis dijalankan tanpa ada partisipasi dan minim pengawasan publik.
Struktur masyarakat yang masih agraris dengan nilai religiusnya menjadi penopang utama kehidupan di Kabupaten Bangkalan. Kepatuhan pada “Guruh” Guru/Ulama, “Ratoh” Pemimpin politik dan “Oreng Seppo” orang tua, masih menjadi tata nilai paling hegemonik sampai pada peradaban modern sekarang ini.
Bangunan tata nilai ini mungkin pernah efektif sebagai bagian dari tata kelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara di jamannya. Namun, seiring masuknya era modern di mana nilai-nilai emansipasi, kebebasan, kesetaraan dan rasionalitas nilai-nilai ini mulai mengalami guncangannya.
Nilai-nilai Tri Kepatuhan di atas mungkin tepat di kala masyarakat dibimbing oleh tokoh-tokoh religius yang memang mengabdikan dirinya secara total untuk masyarakatnya. Pada akhir abad ke 19 hingga awal abad ke 20, dengan tokoh pendakwah awal sekaliber Syaikh Abdul Adzim (wafat 1916) yang sekaligus pembawa tongkat estafet kemursidan Tarekat Naqsyabandiyah Mudzhariyah serta Syaikhona Mohammad Kholil sendiri tentu bangunan sosiologis masyarakat dengan tata nilai kepatuhan total pada tokoh kultural masih memiliki “penghuni”.
Di era yang hampir banyak kita temukan regresi nilai pada tokoh-tokoh religius kita, entah melalui kasus korupsi di dunia politik maupun kasus-kasus etika dan kriminal lainnya, memperlihatkan bahwa “bangunan masyarakat” ini telah kosong. Sistem nilai kepatuhan masyarakat tradisional di sini telah diisi oleh oknum-oknum yang mengerti enaknya “abuse of power”. Rumah dengan sistem nilai masyarakat ini telah berisi hantu yang menambah keangkeran dari tradisi yang belum juga beradaptasi.
Dalam tinjauan yang lebih spesifik lagi, politik di Bangkalan pasca reformasi dikuasai oleh tokoh-tokoh kultural yang segera bermigrasi ke pos-pos kekuasaan politik. Melalui proses demokrasi yang penuh manipulasi mereka melenggang dengan mudah ke tampuk kekuasaan. Dengan menggenggam dua otoritas sekaligus hampir dipastikan bahwa semua tindak-tanduk penguasa lokal di sini tak pernah menemui ganjalan yang serius. Ibarat kata, untuk menggunjingkan kejadian politik kecil saja masyarakat biasanya harus membuka kalimat dengan kata “maaf, ini bukan ngerasani keturunan Syaikhona...........”. Di sini, konsep barokah dan kuwalat benar-benar bekerja sebagai alat ideologis untuk menjaga kekuasaan.
Bagaimana mungkin masyarakat bisa kritis apalagi partisipatif dalam memonitor jalannya kekuasaan jika untuk mendiskusikan saja sudah ketakutan. Seperti yang dituliskan penliti muda (Abdur Rozaki: 2004) yang pernah mengadakan penelitian tentang struktur kekuasaan lokal di Bangkalan.
Dia menemukan ada dua struktur determinan yang dijadikan penopang kekuasaan Bupati di sana, yaitu: Blater dan Kiayi. Blater adalah orang yang memiliki kemampuan fisik, keberanian serta kemauan untuk melakukan hal-hal yang lebih banyak ilegal, bisa dikatakan preman namun lebih dekat dengan istilah Jawara di Banten. Blater ini membentuk jaring-jemaring sehingga memiliki kekuatan politik, apalagi faktualnya sebagian besar dari mereka adalah “Kalebun” atau kepala desa. Sementara struktur sosial yang kedua kita sudah ketahui bersama.
Dengan menghimpun struktur sosial ini tentu otoritas kultural sudah diborongnya. Dilengkapi dengan sistem nilai Tri Kepatuhan maka sudah lengkap untuk melahirkan suatu kekuasaan politik yang absolut. Maka pada tiap-tiap momentum politik tak ada yang bisa membendung gerakannya.
Di level lokal tak ada kekuatan yang mampu melawannya. Kelompok kritis pun tak menemukan ruang publik untuk bersuara. Semua alat negara penegak hukum di sana hampir dipastikan telah dikooptasi oleh kekuasaan. Butuh lebih dari sekedar partisipasi masyarakat sipil untuk menyudahinya.
(Fuad Al Athor, bekerja di Associate Researcher of LiPi-Lingkar Pemikir Indonesia-/ss)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #KPK #Fuad #DPRD #Tangkap #Korupsi