APA SEBABNYA, sejak zaman abad 16 hingga sekarang, abad 21, Indonesia menjadi daerah tujuan bagi bangsa dari belahan dunia lainnya?
Sejarahnya dimulai saat orang Portugis, kini Portugal, hendak membuka dan menguasai alur perdagangan di kawasan Asia, sejak dari India hingga ujung Asia, yaitu kawasan Maluku di abad 15-16, dengan para operator lapangannya Vasco da Gama dan Alfonso de Albuquerque. Juga Diogo Lopez de Sequiera.
Selain Portugis, datang pula para saudagar Spanyol bersama armada perangnya. Masuk ke Indonesia lewat jalur MInahasa dari Filipina pada 1522. Di abad 17, Spanyol berhasil diusir dari Indonesia atas bantuan Belanda dengan operatornya VOC. Belanda tercatat menduduki paling lama di antara bangsa Eropa lainnya, yaitu selama 3,5 abad.
Selain, Belanda, yang pernah berkuasa di Indonesia lainnya adalah Inggris. Itu sebabnya, gedung-gedung pemerintah baik di pusat maupun di daerah-daerah banyak berciri Eropa. Jepang adalah negara di Asia yang sempat mengenyam kemakmuran Indonesia selama 3,5 tahun pada 1942-1945.
Lalu, pada 17 Agustus 1945 atas nama Bangsa Indoesia, Soekarno - Hatta memproklamirkan kemerdekaan negara Republik Indonesia. Indonesia sempat dipecah belah menjadi negara federal. Kini, semua berada di bawah pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ada sejumlah motivasi mengapa bangsa-bangsa Eropa datang ke Indonesia. Mengutip ahli sejarah Islam Uka Tjandrasasmita dalam buku Indonesia - Portugal: Five Hundred Years of Historical Relationship (Cepesa, 2002), yaitu setidaknya ada tiga kata berbahasa Portugis, yakni feitoria, fortaleza, dan igreja. Maknanya, emas, kejayaan, gereja. Dalam konteks lain adalah, perdagangan, dominasi militer, dan penyebaran agama Katolik.
Dan sampai sekarang, negara lain ingin menjalin hubungan bisnis dengan Indonesia. Di negeri gemah ripah loh jnawi, toto titi tentrem kerto raharjo ini, mereka berkeyakinan bisa mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan mudah. Semua bisa dinego dan ditawar dengan harga yang semurah-murahnya, atau disebut harga kawan.
Dengan alasan sedang kekurangan likuiditas, pemerintah mengadakan program privatisasi yang berkedok investasi jangka panjang dan mendatangkan investasi untuk membangun berbagai proyek infrastruktur. Namun jangan salah, privatisasi tak lain adalah penjualan saham BUMN sebanyak-banyaknya, jika perlu 100% atau setidaknya 49%. Yang paling menonjol adalah penjualan saham Indosat hingga mayoritas, padahal, sebetulnya perusahaan negara itu sudah menjadi pencetak uang bagi kas negara.
Kebijakan mencari utangan itu sudah dilakukan sejak zaman Presiden Soeharto. Tapi kelihatannya kebijakan itu terus berlanjut hingga Presiden Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kala Presiden SBY sempat melunasi utang dari IMF. Namun, jumlah utang dari sumber lain masih besar. Terakhir, di era pemerintahan Presiden Jokowi, ada penjualan Bank Mutiara kepada investor Jepang J-Trust dengan harga yang menurut pengamat tak sebanding dengan ongkos me-recovery.
Pertanyaannya adalah, benarkah Indonesia benar-benar sudah jatuh miskin hingga Presiden Jokowi harus mengemis-ngemis ke negara lain untuk minta bantuan pendanaan proyek-proyek infrastruktur. Dalam catatan Bank Indonesia, pada akhir Juli 2014 utang luar negeri Indonesia sebesar US$290,6 miliar atau sekitar Rp 3.487,2 triliun (dengan kurs dolar AS Rp 12.000) atau Rp 3.196,6 triliun (dengan kurs dolar AS Rp 11.000).
Bisakah mengoptimalkan segala daya upaya agar sumber-sumber permodalan dalam negeri bisa dipakai untuk mengongkosi proyek-proyek tersebut tanpa harus terikat hutang yang makin terus membelit. Tidak bisa lagikah sumber daya alam negeri ini menghidupi rakyatnya. Dan rakyatnya hidup sejahtera dan bebas merdeka serta pemerintahnya kuat berdaulat. ( )