JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto terus melakukan safari politiknya menjelang penyusunan kabinet jilid II Joko Widodo. Safari politik yang dilakukan oleh Prabowo Subianto dengan mengunjungi partai politik koalisi Joko Widodo pada Pilpres 2019 lalu.
Diketahui, saat Pilpres 2019 Prabowo Subianto dan Joko Widodo berhadapan untuk memperebutkan kursi nomor satu di Indonesia. Perebutan itu, berakibat pembelahan di masyarakat yang pro terhadap jagoan capres masing-masing.
Perebutan itu terjadi dua kali yakni pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Namun, Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Sandiaga Uno hanya memperoleh 68.650.239 suara atau 44,50 persen. Sementara, Jokowi yang berpasangan dengan Ma"ruf Amin meraih 85.607.362 suara atau 55,50 persen.
Kini, pasca Pilpres 2019 berakhir tak ada lagi pembelahan yang terjadi di masyarakat. Para elit politik sibuk agar masuk dalam lingkaran kekuasaan.
Belum diketahui, langkah politik yang diambil oleh Prabowo Subianto dengan melakukan safari politik ke partai politik pendukung Jokowi untuk meminta restu agar bisa masuk kabinet atau tidak.
Tapi, jika safari politik yang dilakukan oleh Prabowo Subianto sebagai langkah masuk kabinet tentu sangat disesalkan karena ada 68 juta orang yang berada dibelakang jenderal bintang tiga itu yang siap mengawasi kinerja pemerintah.
Sejatinya juga, demokrasi membutuhkan oposisi karena harus ada pihak yang mengawasi serta mengkritik bilamana ada kekeliruan penyelenggaraan pemerintah.
Jika semua partai politik masuk dalam koalisi kekuasaan pemerintah maka dapat dipastikan tugas pengawasan yang diemban oleh DPR RI hanya sebagai stempel dari program-program pemerintah.
Siklus politik lima tahunan harus disikapi dengan dewasa dan harus dihormati. Untuk itu dibutuhkan check and balances agar pembangunan tetap pada koridornya sehingga tidak menjadi bancakan bersama-sama.
Menjadi oposisi juga tidak selalu terkesan negatif yang dinarasikan dapat menggulingkan kekuasaan yang sah ditengah jalan.
Ingat, pemberhentian presiden/wakil presiden dapat dilakukan jika terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.