SUDAH berkali-kali Indonesia mengalami berbagai musibah, baik bencana alam maupun kecelakaan. Misalnya, tanah longsor, banjir, tsunami, pesawat jatuh, pesawat hilang, kapal karam, kebakaran kampung, kabut asap. Ada yang sifatnya musibah murni ada pula yang akibat kelalaian (human error). Di antaranya terjadi di bulan Desember, menjelang berakhirnya tahun.
Ada bencana besar yang menarik perhatian dan penanganan tingkat nasional, seperti tanah longsor di Karang Kobar, Banjarnegara pada 13 Desember 2014 lalu. Korbannya 95 orang meninggal akibat terkubur. Masih ada 13 orang lagi yang dinyatakan hilang.
Sedangkan musibah yang menarik perhatian internasional adalah bencana tsunami di Aceh yang menelan banyak korban jiwa. Terjadi pada 26 Desember 2004. Dari data resmi yang dilansir PBB, ditemukan 186.983 orang meninggal dan sebanyak 229.826 orang korban gempa dan tsunami yang hilang. Banyaknya korban dan luasnya lokasi bencana menarik simpati dunia internasional untuk ikut membantu menolong korban dan meringankan beban keluarganya. Sebanyak 53 negara terlibat aktif memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung.
Yang terakhir adalah hilangnya pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ 8501 pada 28 Desember 2014. Mengapa pihak asing ikut terlibat membantu mencari pesawat milik maskapai penerbangan yang berpusa di Malaysia itu? Tak lain karena ada di antara penumpangnya yang berkewarganegaraan negara tersebut. Partisipasi itu juga untuk menunjukkan adanya simpati dari negara tetangga atas musibah yang dialami Indonesia. Hal serupa tentu saja juga akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Ada hal yang musti dikritisi dari berbagai rangkaian musibah yang sering terjadi di akhir tahun. Musibah adalah bagian dari peringatan Tuhan karena manusia telah lalai dengan kewajibannya. Namun, biasanya, pergantian tahun sepanjang masa lebih sering disambut dengan suka cita dan bahkan berpesta pora. Hotel-hotel dan cafe sudah full booking. Tempat hiburan dan rekreasi juga dibanjiri pengunjung. Orang atau lembaga, atau perusahaan, atau instansi tak segan-segan membelanjakan banyak rupiah untuk mengadakan pesta kembang api.
Sebaliknya tak banyak kegiatan yang sifatnya evaluasi dan refleksi atau menyambut pergantian tahun itu dengan penuh keprihatinan dan kepedulian. Sebab, masih banyak saudara atau tetangga kita yang membutuhkan uluran tangan kita. Bagaimana dengan para pejabat negeri kita, baik di eksekutif maupun legislatif. Ikut arus menyiapkan paket bersuka cita atau sudah mempunyai program yang lebih bermakna dan bermanfaat dari pada sekadar bersenang-senang dan meniup terompet? (b)