DI AKHIR tahun 2013 lalu, warga di suatu kampung di kawasan Tapos, Depok, bersepakat menaikkan iuran bulanannya dari Rp 25.000 menjadi Rp 30.000. Harapannya, agar bisa menaikkan gaji petugas sampah dan satpam. Alhasil, petugas kebersihan yang jumlahnya tiga orang itu mendapat kenaikan insentif dari Rp Rp 550.000 menjadi Rp 600.000 dan satpam dari Rp 500.000 menjadi Rp 550.000 per bulan.
Di pertengahan 2014, pengurus RT di sana berinisitif memberi tambahan berupa uang beras dan uang transpor untuk satpam sebesar Rp 200 ribu hingga total menjadi Rp 750 ribu per bulan. Sedangkan untuk petugas sampah juga mendapat kenaikan menjadi Rp 800 ribu. Pertengahan Desember, petugas sampah datang menghadap ke pengurus RT agar insentifnya dinaikkan karena harga premium sudah naik. Bahkan, jauh hari
sebelum harga premium dinaikkan, harga-harga kebutuhan pokok sudah lebih dulu terbang tinggi Contohnya, cabe merah di pasar sudah mencapai Rp 100 ribu/kg.
Di awal 2015 pengurus berencana menaikkan lagi insentif petugas sampah sebesar Rp 200 ribu hingga menjadi Rp 1 juta/bulan. Insentif satpam tentu saja juga harus ikut dinaikkan setidaknya sama dengan tim sampah, yaitu menjadi Rp 1 juta. Beruntung, masih ada sisa iuran warga yang bisa dialokasikan untuk para pekerja kampung itu.
Pertanyaannya, apakah kenaikan gaji tim sampah dan satpam itu mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari pasca kenaikan harga BBM? Tentujawabnya tidak. Anggaplah kenaikan gaji sebesar Rp 200-250 ribu per bulan cukup untuk belanja bulanan uang transpor sebulan. Tapi, dari mana buat membeli kebutuhan barang-barang pokok yang sudah lebih dulu nmelambung harganya.
Para pedagang kali lima (PKL) yang sebetulnya mampu mencukupi kebutuhan masyarakat, kini menghadapi dua musuh besar, yaitu para petugas satpol PP dan membanjirnya barang-barang impor yang lebih murah. Bagi para PKL, sebetunya tak masalah dengan barang impor itu, sebab, masyarakat sudah makin pragmatis dengan membeli barang yang lebih murah. Yang terpukul adalah para produsen lokal. Barang-barangnya bisa tersingkir dari lapak-lapak itu.
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Dokter Ali Mahsun mengingatkan pemerintah agar tidak membuat kebijakan yang membuat rakyatnya serta pengusaha dan produsen pribuminya tidak berdaulat di negeri sendiri. Mekanisme pasar bebas yang hendak diterapkan pemerintah lebih banyak sebagai upaya menghimpun kekuatan asing agar menguasai pasar Indonesia. Membiarkan produk lokal kalah bersaing dengan produk asing.
Jika kebijakan pemerintahan Presiden Jkowi itu tak segea disetop dengan segala daya dan upaya yang sporadis, sudah pasti, perekonomian nasional kita akan diatur dan dikuasai oleh mekanisme yang dibuat para kaum neo-liberalisme yang menghalalkan segala cara. Pemerintah bisa dicap tidak bisa menjalankan amanah yang diberikan rakyatnya untuk menjalankan UUD 1945. Misalnya, APBN diterapkan setiap tahun untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 23).
Pencabutan subsidi BBM atau penghapusan BBM murah, yaitu premium, jelas menguntungkan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik asing seperti Shell, Petronas, dan Total. Sebelum ada pengurangan atau pencabutan subsidi BBM, SPBU asing itu banyak yang gulung tikar. Sekarang, mereka bangkit lagi mencoba meggeruk pasar yang selama ini dikuasai Pertamina.
Yang pasti, pemerintah bisa dicap sebagai pelanggar Pasal 33 UUD 1945. Sebab, harusnya, perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasasi hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesa-besarnya kemakmuran rakyat.
Simak, sudah berapa banyak cabang produksi yang penting dan strategis diserahkan dan kuasai asing? Pelanggaran itu masif dan terstruktur, bahkan sudah dipraktikkan di era rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dan, kini, rezim Presiden Jokowi tak hanyamelanjutkan, tapi bahkan memperkuat kebijakan perekonomian nasional menganut dan dikuasai pasar bebas. (b)