JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan menilai, asumsi makro pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah sebesar 5,3 % dalam RAPBN 2017 terlalu mengada-ada.
"Usulan awal 5.3% dan outlook 5,2% itu masih terbilang tinggi. Harusnya pemerintah lebih realistis lagi mengingat kondisi fundamental ekonomi nasional yang masih 'jungkir balik'," tandas Ketua DPP Partai Gerindra ini di kompleks Parlemen Jakarta, Rabu (07/09/2016).
Lebih lanjut Heri memperkirakan ideal realistisnya pertumbuhan ekonomi masih berada pada kisaran 5,0%.
Bahkan, kata dia, dari hasil pendalaman dan pembahasan Panja Asumsi Makro antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Bappenas dan Komisi XI maka Panja memutuskan usulan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05%.
"Untuk diketahui mencapai pertumbuhan 1% itu tidak mudah. Kita butuh modal yang besar. Nah, selama ini investasi dan modal yang ada tidak efisien. Investasi yang masuk juga tidak mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi," tandas Waketum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini.
Memang, beber Heri, pertumbuhan ekonomi triwulan II-2016 berkisar 5,18%. Itupun, lanjut dia, didorong oleh sektor asuransi dan keuangan sebesar 13,51%. Tapi perlu diingat, saat itu belum ada pemangkasan dan penundaan anggaran hingga ke daerah-daerah.
"Sementara itu, saat ini dan kedepan, kita sedang dan akan menghadapi tantangan di sektor keuangan yang lebih serius. Pada konteks ini, volatilitas pasar uang juga belum berpihak. Malahan, kepercayaan investor pada ekonomi Indonesia juga masih belum membaik," ungkapnya.
Selain itu, menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang masih mengandalkan instrumen utang adalah hal yang kurang menggembirkan ditengah tingkat kepercayaan investor yang masih rendah.
"Kalau kita berharap pada utang, kita bisa lihat kepercayaan kreditor pada Indonesia juga merosot. Lihat saja, yield atau imbal hasil obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun, naik menjadi 7,11%. Artinya, kepercayaan kreditor juga belum baik. Dan ini pasti akan semakin menyurutkan niat investor," tandas Heri.
Lebih dalam lagi, sambung dia, dari sisi produksi, sektor andalan seperti usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan masih di bawah 12%.
Sementara itu, terang dia, disektor lainnya sedang terjadi penurunan volume output di sektor pertambangan dan penggalian. Bahkan, pada triwulan II-2016 terjadi penurunan sekitar 1,01%.
"Segala situasi itu tentu harus menjadi perhatian serius pemerintah di tengah-tengah "gonjang-ganjing" ekonomi global yang belum juga surut yang ditandai oleh perlambatan ekonomi di Pasifik dan penurunan harga komoditas. Belum lagi, reputasi nilai tukar rupiah yang tetap saja anjlok dan tidak kompetitif. Dengan asumsi pertumbuhan yang belum realistis tadi, maka keseriusan pemerintah untuk menghadirkan postur APBN yang kredibel dan bisa dipercaya akan dipertanyakan," tegasnya.
"Saya berharap, pemerintah fokus pada rencana yang sungguh-sungguh untuk kembali memenangkan kepercayaan pasar. Dalam konteks ini, cetak biru pembenahan struktural keuangan yang sungguh-sungguh dan benar sangat diperlukan untuk mendongkrak ekonomi nasional yang bisa bersaing, minimal dengan negara-negara tetangga. Jika tidak, dan tetap mempertahankan cara-cara pintas seperti berutang, maka tidak lama, keuangan kita pasti akan sangat terganggu," pungkasnya.
Tanggal 16 Agustus 2016 lalu, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan RUU APBN Tahun 2017 beserta nota keuangannya. Dengan dasar asumsi makro pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%.
Sementara dalam rapat kerja tanggal 1 September 2016 dengan Menkeu, disampaikan bahwa outlook pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%.
Sedangkan Gubernur BI dalam paparannya menyampaikan asumsi pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,9% - 5,3%.(yn)