SETELAH berakhirnya masa reses 2014-2015 dan dibukanya masa persidangan pertama 2015, sudah banyak persoalan yang sudah menumpuk dan harus segera diselesaikan. Di antaranya, perlunya pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015. Lalu, pengisian personel pimpinan komisi-komisi dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dari unsur fraksi kelompok Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai bagian dari kompomi politik antara KIH dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Masalah lain yang harus segera diputuskan adalah tentang Peraturan Pemerintah Penggnti Undang-undang (Perpu) tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) yang diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang masa baktinya berakhir, Oktober 2014 lalu.
Nomenklatur kementerian di Kabinet Kerja juga bermasalah. Misalnya antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendestrans/DPDTT) menyangkut kewenangan menyalurkan dana desa sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Mau tak mau, DPR harus memberikan remomendasinya atau rebutan kewenangan tersebut, terlebih karena hal itu menyangkut alokasi anggaran.
Banyak hasil temuan yang diperoleh dari kunjungan kerja (kunker) para anggota Dewan. Ada yang harus di-follow-up ke para mitra dalam rapat kerja (raker), maupun cukup diselesaikan di tingkat provinsi, kota atau kabupaten.
Adanya konflik di internail Fraksi Partai Golkar DPR adanya kepengurusan DPP Partai Golkar tandingan yang diakui pemerintah, setidaknya juga bakal menguras energi pimpinan Dewan. Sebab, pimpinan Fraksi Partai Golkar DPR bentukan Golkar Agung diprediksi bakal membuat manuver. Masalah itu berkepanjangan karena upaya islah atau perundingan antara kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono menemui tembok besar yang sulit ditembus.
Tembok itu adalah adanya keinginan untuk memaksakan kehendak atau prasyarat harga mati sebelum memasuki meja perundingan. Kubu satu, ingin Partai Golkar tetap mendukung dan menjadi bagian dari pemerintah secara hitam putih dengan keluar dari KMP dan masuk ke KIH. Sedangkan kubu yang satu memilih menjadi kekuatan penyeimbang di DPR, yaitu dalam KMP, menyusul kekalahan mereka melawan KIH dalam merebut kursi RI-1.
Kelompok Partai Golkar versi munas Ancol mengkaim, dari lima anggota FPG DPR yang mereka punyai, kini sudah bertambah menjadi 23 orang. Jumlah itu sudah melewati batas minimal (parliamentary threshold) untuk membentuk fraksi sendiri.Jumlah 23 anggota FPG DPR yang nyempal dari kubu ARB ke kubu Agung jelas dipertanyakan. Persoalannya, apakah pimpinan DPR mau meluluskan FPG versi Agung membentuk fraksi sendiri,misalnya PG Perjuangan?
Pengalaman yang terjadi di Golkar dalam tiga periode kepemimpinan, yaitu sat dipimpin Akbar Tandjung, M Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie, tak ada kepengurusan tandingan. Yang ada, mereka yang kalah dan kecewa keluar dari partai lalu mendirikan partai baru atau yang lain akan memilih bergabung di partai lain.
Pimpinan DPR tentu harus menempuh langkah bijak agar seluruh persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan mengedepankan dialog dbukan main kayu. (b)