PANGGUNG sandiwara kembali kita nikmati. Para aktornya adalah para politisi yang berkantor di Senayan, Kabinet Kerja di Istana Kepresidenan, serta para penegak hukum yang meliputi Kepolisian, Kejaksaan, juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah cerita melibatkan ketiga pihak tersebut.
Cerita yang masih gres adalah menguji kepiawaian para penegak hukum di KPK dalam menyelidiki, menyidik, dan membawanya hingga ke meja hijau kasus gratifikasi dengan tersangka Komjen Budi Gunawan. Yang menjadi heboh adalah penetapan status tersangka terhadap Budi Gunawan di saat dia tengah menunggu proses fit and proper test menjadi Kapolri.
Selain itu, di saat Budi ditetapkan sebagai tersangka, yang menjadi sorotan publik adalah begitu cepatnya proses fit and proper test terhadap Budi Gunawan. Jangan-jangan mereka telah terima kucuran dolar untuk memuluskan pencalonan Budi menjadi Kapolri menggantikan Kapolri yang akan diganti, yaitu Jenderal Sutarman.
Sebaliknya, kini pihak KPK tengah menghadapi gugatan hukum praperadilan yang diajukan Budi Gunawan terhadap penetapan status tersangkanya. Pimpinan KPK, khususnya Abraham Samad, bahkan harus menghadapi sejumlah persoalan, semisal menyangkut sidang etik atas dirinya, tudingan dia telah melakukan lobi-lobi politik agar dirinya bisa masuk dalam daftar calon wakil presiden pendamping Jokowi. Yang belakangan disebut sebagai kasus rumah kaca.
KPK sedang bergulat dengan waktu. Setidaknya ada pertanyaan yang harus segera dijawab oleh pimpinan KPK agar bola panas itu tidak bergulir menjadi sekadar polemik biasa, tapi menjadi konflik horisontal di antara mereka yang mendukung pihak-pihak terkait. Pertanyaan itu antara lain, sejauh mana KPK memproses secepatnya kasus Budi Gunawan hingga selekasnya dapat diproses di pengadilan.
Proses pengadilan bisa jadi membutuhkan waktu tak singkat karena harus menempuh peradilan tingkat pertama di pengadilan negeri (PN), peradilan tingkat kedua di Pengadilan Tinggi (PT), tingkat ketiga, yaitu di Mahkamah Agung (MA). Belum lagi jika dilanjutkan proses peninjauan perkara (PK).
Pupuslah kredibilitas KPK jika kasus Budi tak segera ditingkatkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan, dari status tersangka menjadi terdakwa, dan berkas perkaranya P-21. Siap dilimpahkan ke kejaksaan lalu ke pengadilan. Budi sendiri bisa merasa telah diperlakukan secara tidak adil termasuk modus pembunuhan karakter karena kasusnya digantung, alias tak segera diproses hingga statusnya jelas. Kesannya KPK main-main. Jika itu terjadi, selamat tinggal supremasi hukum di Indonesia. (b)