Kebajikan tak akan pernah berjaya jika terpecah-belah, akan kalah dan terburai menghadapi kejahatan yang terorganisir. Begitulah kira-kira makna dari kata mutiara yang diyakini dari Sahabat Ali Karramallahu Wajhah, yang berbunyi begini, Al-haqqu bila nizom yaghlibuhul-baatil binnizom. Menegaskan betapa pentingnya organisasi, terorganisir, sistem dan sistematis. Termasuk dalam mengupayakan sebuah misi politik, orang berkumpul membentuk organisasi politik yang kemudian di kenal dengan partai politik.
Kini, di tengah hiruk-pikuk mudah dan masifnya mobilisasi isu serta massa dalam lingkungan yang demokratis ini, partai politik seolah sulit dipandang sebagai organisasi yang dibangun berdasar kesadaran untuk kebajikan seperti di atas, namun lebih karena tujuan-tujuan pragmatis yang sebagian besarnya menyengsarakan rakyat.
Bersamaan dengan itu, demokrasi yang memberi ruang gerak luas pada rakyat telah menyuburkan tumbuhnya organisasi masyarakat sipil bak jamur di musim hujan. Negeri yang juga memberi arena bebas bagi pertarungan dan saling menghegemoni antar satu gagasan dengan gagasan lainnya ini semakin meneguhkan diri sebagai free market of ideas.
Kondisi saling iris antara melubernya ide-ide dan suburnya organisasi masyarakat sipil tentu memengaruhi jalannya politik, khususnya politik elektoral. Pilpres 2014 kemarin, membuktikan adanya kerja sama yang sekaligus persaingan yang luar biasa antara kekuatan masyarakat sipil dalam mengusung ide dan jagoan politik mereka dengan partai politik.
Fakta bahwa mixnya sistem multi partai dengan presidensialisme di Indonesia memberi ruang pada jaringan masyarakat sipil untuk bermanuver di tengah tidak adanya partai yang dominan serta jumudnya komunikasi politik partai terhadap masyarakat. Ini kemudian menjadi menarik bila direfleksikan pada pernyataan Menko Polhukam Tedjo Edhi Purdijatno bahwa masyarakat sipil yang berteriak mendukung KPK yang notabene adalah ujung tombak penyukses naiknya Jokowi pada tampuk kekuasaannya, adalah masyarakat tidak jelas. “Rakyat Jelas dan Rakyat Tidak Jelas” Setelah dilepaskannya Bambang Widjojanto, wakil pimpinan KPK, publik kembali bernafas lega.
Tekanan masyarakat sipil yang deras melalui pendudukan langsung kantor KPK yang otomatis meledak di media terlihat hasilnya. Ada pelajaran yang tersisa bahwa rakyat memang memiliki kekuatan. Entah melalui apa yang disebut LSM atau Ormas. Secara faktual, mereka yang telah melakukan tekanan terhadap negara atau kepolisian RI khususnya sangatlah jelas. Mereka ada dan berkekuatan. Dalam konteks ini penulis menolak mengafirmasi pernyataan Menko Polhukam bahwa mereka yang melakukan aksi-aksi dukungan untuk penyelamatan KPK tersebut adalah rakyat tidak jelas. Mereka jelas dan ada asal usulnya.
Secara teoritis, perkembangan seputar sosiologi politik terakhir di Indonesia menegaskan kembali pada kita tentang konsep Oligarkisme. Di mana kecurigaan utama pasca lengsernya Soeharto dan dibukanya kesempatan politik yang luas dengan kebebasan mendirikan partai politik, ditujukan pada gerakan migrasi sekelompok elit ekonomi dan politik pada partai-partai politik baru. Sebagian dari kelompok ini disinyalir merupakan sisa-sisa kekuatan yang pernah menopang kejayaan Orde Baru, oleh karenanya memiliki sifat yang mungkin saja sama dengan rezim tempatnya berpatron dulu.
Secara organisasi mereka mungkin terpisah dan berubah, namun secara karakter operasi ekonomi politik tetap sama. Jejaringnya sama dan sifatnya yang bertumpu pada ekonomi rent seeking dan kapitalisme birokratis tetap sama hanya berubah alur dan formasinya. Ironisnya, kelompok ini dianggap paling dominan dalam tiap partai dan meskipun tidak banyak aktornya dalam partai politik tertentu namun hegemoninya diyakini mampu menggiring partai politik untuk berprilaku kurang lebih sama. Mereka memiliki kekuatan dan bahkan determinatif pada arah jalannya politik dan ekonomi negeri ini. Mereka ini tak jelas dalam artian tak mengakui status politik yang sering dituduhkan padanya, namun jelas dalam posisi yang menentukan.
Berbarengan dengan ini di sektor masyarakat sipil semakin menunjukkan tingkat perkembangan yang signifikan. Kebebasan yang luas untuk mengakses dana-dana hibah internasional telah menghidupi degup jantung masyarakat sipil dengan isu-isu mereka. Tak pelak, nilai-nilai global seperti yang diperjuangkan di negeri Eropa misalnya kini menjadi tak asing di sini. Ujungnya, kelas menengah yang khas juga terbentuk dari lingkungan mode of production ini. Di sini, mereka jelas keberadaan dan asal usulnya. Masyarakat yang memiliki daya kritis serta ikatan solidaritas yang tinggi sesama penggiat isu-isu tertentu di sektornya, memiliki daya lantang yang kuat untuk sebuah kampanye dipastikan akan cukup determinatif terhadap arah bandul politik nasional. Baik politik elektoral maupun politik dalam pengertian pelaksanaan kekuasaan sehari-hari.
They are politically matter. Bagi masyarakat sipil kritis, implikasi dari skema logic yang menyatakan adanya Oligarkisme dalam tubuh partai politik adalah bahwa demokrasi dengan partai politiknya hari ini mendapat beban benalu yang mematikan. Benalu tersebut ada dalam partai politik. Maka, sorotan kritik utama pada partai politik seringnya diarahkan pada sekelompok elit yang memegang surplus kekuasaan di banding sekian juta kader yang hanya biasa-biasa saja.
View ini juga menandakan adanya pergeseran sasaran kritik. Jika dulu yang dicurigai adalah negara kini telah bergeser pada parpol, khususnya anasir oligarkis yang dominan dalam suatu parpol. Anggapan utamanya adalah bahwa anasir inilah yang mengontrol arah dan gerak politik parpol serta juga memegang kendali dalam hal distribusi kekuasaan baik secara internal maupun penempatan-penempatan di struktur pemerintahan. Sampai di sini, jelas pula watak dan pandangan politik mereka.
Ajaibnya, point of view masyarakat sipil ini sejatinya diketahui belaka oleh para politisi di parpol manapun. Lebih jauh, bagi kader partai politik masyarakat sipil masih dianggap sebagai perpanjangan tangan dari sebuah kekuatan hegemoni global. Perjuangan mereka terkadang memukul rata semua hal tanpa memandang faktor-faktor nasionalitas yang khas. Kecenderungan untuk mewujudkan nilai-nilai global tanpa didasari pembacaan kritis pada level hubungan-hubungan produktif sektor ekonomi yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat politik menyembunyikan praktek penghisapan dan ketidakadilan dalam relasi pertukaran global.
Namun sejarah Indonesia telah menciptakan rel yang berbeda pada keduanya. Hubungan yang enigmatik antara ke duanya ini tetap menyembunyikan magma kesadarannya masing-masing. Dengan demokrasinya masyarakat politik berusaha secara beradab menjadi berdaulat dalam konteks hubungan-hubungan global, masyarakat sipil mengandaikan kehidupan yang sehat berlandaskan nilai-nilai global yang modern. Pernyataan Menko Polhukam kemarin memperlihatkan adanya benturan antara antar keduanya. Sebagai dialektika ini bukan masalah buruk bagi perjalanan bangsa Indonesia.
Hanya saja jika dilihat secara manajerial konflik, sepertinya hal ini menunjukkan adanya saling sumbat antar satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Harus ada pengaturan kuota antara arus dominatif yang bersumber dari lokus politik dan arus hegemonik yang bersumber dari lokus sipil penyokong politiknya. Karena masih dalam satu blok politik maka penyelesaiannya relatif mudah dan tergantung pada kemampuan sang pemimpin untuk mengompromikan semua aliran kepentingan tersebut. Politik tidak boleh meninggalkan fungsi resminya, yaitu negosiasi.(yn)
Twitter : @fuad_alathor
Web : fuadalathor.wordpress.com
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #KPK #Polri #Menko Polhukam