SATU putra terbaik kita mencoba menawarkan teknologi agar Indonesia bisa cepat lepas landas mewujudkan menjadi bangsa dan negara maju yang makmur. Dialah Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie yang lama tinggal di Jerman, negeri induknya teknologi. OLeh presiden Soeharto, dia dipanggil pulang untuk membangun negerinya.
Pakar penerbangan itu pun menawarkan gagasan agar Indonesia mengembangkan teknologi untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Ketika itu Habibie pun membangun Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Produk unggulannya adalah CN 235 (Tetuko). Pesawat baling-baling itu cocok untuk sarana transportasi antar pulau. Lalu dibuatlah prototipe yang lebih canggih lagi yaitu N-250. Banyak negara ikut memesannya.
IPTN termasuk satu dari sejumlah badan umum milik negara industri strategis (BUMNIS). Kini, IPTN sudah berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI). IPTN sempat kehilangan marwahnya saat era Presiden Soeharto atau perintah IMF mencabut Penyertaan Modal Negara (PMN). Hingga, Habibie gagal meluncurkan N-250.
Masyarakat juga tak mendukung pengembangan teknologi penerbangan karena dianggap terlalu mewah, padahal dilihat dari dampaknya sangat strategis menunjang pembangunan wilayah hingga ke pelosok wilayah kepulauan. Belakangan, saat menjadi Wapres pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I, Jusuf Kalla dengan bangganya malahmembeli banyak pesawat dari Tiongkok. Padahal, Tiongkok tak punya sejarah sebagai produsen pesawat terbang yang hebat.
DENGAN alasan berbau KKN, mobnas Timor yang dikerjakan oleh Hutomo Mandala Putra (Tommy), dihancurkan oleh para pejuang reformasi. Saat Texmaco mampu memproduksi mesin-mesin, juga kendaraan angkut, contohnya truk Perkasa, rezim Megawati Soekarnoputri mematikannya secara sistematis. Jadilah kini, industri otomotif tetap dikuasai oleh pabrikan dari Jepang. Toyota, Honda, Mitshubishi, dan Suzuki. Dan, Texmaco dibiarkan menjadi rongsokan.
Sejatinya, Malaysia pernah belajar bikin mobilke Kramayudha Tiga Berlian yang memproduksi mobil merek Tiga Berlian Mitshubishi. Hasilnya, Malaysia berhasil membuat mobil bermerek Proton. Awalnya, Proton dikenal sebagai kendaraan taksi kelompok Citra yang dikendalikan Mubha Kahar Muang. Kini, Proton mampu memproduksi berbagai jenis kendaraan.
Sementara itu, sempat Jokowi saat menjadi walikota Solo bercita-cita menjadikan mobil rakitan anak-anak SMK di kota itu sebagai mobil nasional (mobnas). Namun, saat Jokowi hijrah ke Jakarta menjadi gubernur dan kini sudah menjadi presiden, mobil Esemka yang pernah dijadikan mobil dinas walikota Solo itu, seolah terlupakan.
Saat menjadi gubernur DKI, Jokowi sempat mengganjal beredarnya mobil murah hemat biaya (low cost green car/LCGC), namun dia tak memberikan alternatif bagaimana memajukan mobnas yang sudah ada seperti komodo dan Tawon, ada juga mobil listrik asal Depok. Sekarang, tanpa malu-malu, saat bertandang ke Kuala Lumpur, pekan ini, Presiden Jokowi ingin menarik Proton untuk membantu Indonesia membuat mobnas. Jokowi pun mengajak PT Adiperkasa Citra Lestari yang dimiliki AM Hendroprijono untukmenggandeng Proton. Dulu, Malaysia juga belajar ke ITB dan UI saat ingin memajukan dunia pendidikan di negerinya.
Kini, pemerintah Jokowi telah menempatkan Malaysia sebagai tempat belajar membuat mobil juga tetap menjadi tempat mencari nafkah bagi para TKI dan TKW kita. Kenapa pemerintah Jokowi tak menarik seluruh TKI dan TKWnya dari Malaysia agar mereka terbebas dari bahan hinaan dan caci-maki karena Indonesia dikenal sebagai bangsa TKI dan TKW yang tak punya skill atau pengalaman.
Padahal, ribuan jagoan teknologi Indonesia banyak bertebaran di berbagai industri di luar negeri. Tidak bisakah para diasporaitudipanggil untuk memajukan negerinya, sama seperti saat Soeharto memanggil Habibie dari Jerman? (b)