DENGAN perasaan sangat bangga, Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi mengendarai sendiri mobil buatan para siswa SMK Warga dan SMKN 2 Surakarta itu dari Kota Solo ke Jakarta, pada 24-25 Februari 2012 dulu. Tiga tahun lalu. Perlunya, mengantar mobil untuk menjalani tes kelayakan teknis, termasuk uji emisi.
Saat itu Jokowi masih berstatus sebagai walikota Solo. Banyak pejabat Jakarta yang mendukung Jokowi bakal berhasil mengorbit Kiat Esemka menjadi mobil nasional (mobnas). Mereka berbondong-bondong memesan. Termasuk di antaranya Roy Suryo dan Marzuki Alie yang kala itu menjadi ketua DPR.
Delapan bulan kemudian, dia dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Jokowi seolah kacang lupa kulitnya. Esemka mengantar Jokowo menuju kursi DKI-1 pun dilupakan oleh bertumpuk-tumpuk pekerjaannya sebagai gubernur. Dia mulai asyik dengan blusukannya. Di antara tugas utama sebagai gubernur adalah bagaimana bisa mengurai kemacetan dan mengusir banjir.
Sebetulnya, upaya mengatasi kemacetan dan banjir sudah disiapkan oleh gubernur pendahulunya, baik Fauzi Bowo maupun Sutijoso. Program anti kemacetan dihadapi dengan Pola Transportasi Makro (PTM). Ada tiga jenis moda transportasi massl yang diupayakan untuk mengurangi jumlah kendaraan bermotor. Mass Rapid Transit (MRT) dan monorel yang berbasis rel, Lalu bus rapid transit (BRT) yaitu berbasis jalan raya dengan merintis jaringan Transjakarta untuk menggantikan bus reguler yang semrawut.
Upaya lain mengatasi kemacetan adalah dengan memberlakukan jalan berbayar (Electronic Road Pricing/ERP). Jika tanpa rekayasa drastis, diramalkan, pada 2014 lalu lintas Jakarta tak akan bergerak. Sebab, jumlah sarana jalan sama dengan jumlah kendaraan yang ada. Pertumbuhan jumlah kendaraan bemotor di jalan raya bisa mencapai 8,1% per tahun. Tapi jangan salah, jika siang hari, kendaraan yang lalu lalang di Jakarta banyak yang berasal dari kawasan penyangga, yaitu Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi.
Sedangkan, untuk mengatasi banjir, sudah ada program normalisasi dan pengerukan 13 sungai dan optimalisasi kanal banjir timur (BKT) dan kanal banjir barat (BKB). Saat masih menjabat gubernur, Fauzi Bowo mendapat bantuan konsultasi bagaimana mengatasi banir dari Walikota Rotterdam.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta juga sedang mencairkan proyek banjir dari Bank Dunia yang dikemas dalam Proyek Mitigasi Banjir Darurat Jakarta (Jakarta Urgent Flood Mitigation Project), atau dikenal juga dengan Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI). Program ini meliputi pekerjaan pengerukan 13 sungai yang mengalir ke Jakarta dan juga pengerukan empat waduk. Bantaran kali juga akan direhabilitasi atau dibersihkan dari hunian liar.
Jokowi belum selesai menjalankan tugasnya sebagai gubernur DKI hingga 2017. Dia sudah diberi tugas baru lagi menjadi Presiden Republik Indonesia. Dilantik pada 20 Oktober 2014. Padahal, sejumlah program penting di Jakarta belum tuntas. Jakarta masih macet, bahkan tingkat kemacetan di Jakarta masuk tiga besar dunia. Jakarta juga masih dilanda banjir. Dan Ahok, gubernur penggantinya pun juga tak mampu mengurai kedua persoalan tersebut. Malah Ahok menuding ada sabotase, istilah lain untuk menyebut kambing hitam, yang menyebabkan kawasan Istana Kepresidenan dilanda banjir pada Senin (9/2/2015).
Amanah masyarakat Solo yang menitipkan Kiat Esemka agar dijadikan mobnas,oleh Jokowi seolah sudah dibuang ke laut. Kini, hanya untuk menyenangkan koleganya, AM Hendroprijono, dijalinkan kerjasama dengan Proton untuk membuat mobnas. Monas kok impor.
Dengan demikian, tiga amanah yang diusung Jokowi, yaitu Esemka, menyelesaikan banjir dan macet, tak satupun yang berhasil diselesaikan secara tuntas. Padahal, saat masih jadi walikota Solo, Jokowi sesumbar, gampang menyelesaikan banjir dan macet Jakarta. Kenyataannya? (b)